Jumat, 15 April 2016

MUNGKIN JUGA TIDAK PERLU TERLALU SERIUS MEMBACA INI

Diposting oleh Rumah Kopi di 19.21

Kita memang seperti ini. Selalu begini. Tidak pernah berubah meskipun umur telah bertambah. Entahlah. Ada rasa bosan ketika mengingat kembali beberapa peristiwa yang membuat maskaraku meleleh. Meskipun sebenarnya aku tidak pernah memakai maskara, kecuali ketika belajar mengaplikasikan riasan di wajah.

Kamu harus tahu, mungkin juga tidak perlu tahu bahwa kadang-kadang aku kepingin menyedot tubuhmu  menggunakan vacuum cleaner. Kemudian memasukkannya ke dalam botol kaca. Menutupnya rapat-rapat. Selanjutnya aku bergegas ke laut. Bukan untuk piknik apa lagi berjemur. Bukan. Aku tidak suka bau matahari di tubuhku, di rambutku. Kamu tahu, aku gampang berkeringat. Jadi lupakan tentang piknik ke pantai bersamaku.

Dengan botol berisi tubuhmu, pikiran-pikiranmu, juga mulutmu yang enggan terbuka itu, oh tak ketinggalan kusertakan juga keegoisanmu, semuanya terperangkap di sana. Aku melihatmu menggapai-gapai. Kamu berharap aku melepasmu. Dan dari luar, aku menggeleng dengan memasang senyum paling licik namun bahagia. Kepuasan itu membuncah begitu saja setelah berhasil membuatmu tak berdaya. Dan kupikir saat ini dan selanjutnya, aku pasti berhenti menangis. Berhenti sakit hati karenamu.

Omong-omong, sebelum ke pantai, tentu saja aku terlebih dahulu sarapan. Sebab, sarapan adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Dengan setangkup roti tawar isi selada, ikan tuna, mayonis, irisan tomat segar, dan segelas kopi 3 in 1. Aku tidak suka kopi hitam. Kecuali saat itu, dulu pertama kali mencicipi kopi hitam  buatan Ibu yang tentu bukan disuguhkan untukku. Kopi hitam kepunyaan Bapak yang masih mengeluarkan asap tipis meliuk-liuk laiknya penari tiang (aku lupa nama tarian yang diperagakan oleh gadis yang melilitkan tubuh indahnya pada tiang stainless itu, seperti ulat bulu yang merambat pada tanamam) aku menyesap kopi panas itu barang satu, dua, tiga kali, dan uh membuatku tergila gila dengan kopi sampai detik ini.

Jangan bertanya menyoal kesopanan dan semacam itu, mencuri kopi hitam kepunyaan Bapak, sebab pertama kali jatuh cinta dengan kopi, aku masih terbiasa mengenakan kaos dalam serta bawahan berbentuk segitiga dengan motif kartun lucu, bermain-main ke seluruh penjuru kota. Desa ding, kan aku anak desa. :)

Entah kapan tepatnya, pelan-pelan aku meninggalkan kopi hitam. Aku lebih suka menikmati pahitnya kopi, manisnya gula, serta gurihnya krimer, larut bersama. Aku pikir, pahitnya hidup bisa disiasati dengan cara seperti ketika aku menikmati secangkir kopi blanded.

Omong-omong tenagaku cukup kuat untuk melempar botol berisi tubuhmu itu. Betapa girang hatiku melihat botol itu membubumbung tinggi sebelum akhirnya jatuh mengapung di permukaan laut saat itu. Oh iya, sebelumnya, aku telah bernegosiasi pada Tuhan, supaya melindungimu dari tajamnya gigi ikan hiu, rakusnya kawanan ikan paus, dan sepertinya Tuhan setuju akan hal itu. Lalu aku mengusap-usapkan kedua telapak tangan setelah melemparkan botol berisi tubuhmu--seolah-olah baru saja memegang benda kotor. Membalik badan dan mengayun kaki meninggalkan pantai.

*

100 tahun kemudian, pada pagi yang belum sempurna, aku tergopoh menghampiri bibir pantai. Lebih tepatnya menjemput botol kaca yang tergeletak sembarangan di sana. Ketika menemukan benda itu, aku tidak terlalu kaget. Sebab, sesuai doa yang aku panjatkan waktu melempar botol berisi tubuhmu, kurapalkan mantra bahwa kelak, hanya aku yang akan menemukannya. Membebaskanmu. Dan berharap, ketika itu, semua berubah. Tak ada lagi teriakan. Tak ada lagi tingkah lakumu yang menyebalkan itu, juga protes nyinyir dariku, dan itu semua bibit-bibit penyebab kita berdua mabuk emosi yang akhirnya entah kapan mulainya, kita saling melemparkan kata kotor. Lalu kamu terlelap. Sementara aku susah tidur karena migrain.

Saat pertengkaran demi pertengkaran itu terjadi, aku membencimu seperti membenci semangkuk bakso yang telah dingin dan dipaksakan untuk masuk ke mulutku, dan sialnya, setelah terlempar ke perut, bakso dingin itu keluar melalui jalan yang sama. Itu menyebalkan. Sepertimu.

Mula-mula, aku menganggap apa yang terjadi antara kita, adalah kekonyolan dua manusia yang hatinya telah lama kering. Kering karena ketidak hadiran kecintaannya pada kurun waktu lama--di hadapan masing-masing. Lalu seperti mayat-mayat yang bangkit dari kubur, mencari mangsa, balas dendam, sebab mayat-mayat itu belum siap mati. Ya walaupun kenyataannya tak ada makluk yang siap mati. Ini kasus lain, tentu saja mayat itu penasaran mendatangi pembunuhnya.

Ah, sepertinya analogiku tidak masuk akal membandingkan mayat yang bangkit dari kubur mendatangi pembunuhnya (Seperti Dewi Ayu dalam novel Cantik Itu Luka, namun dalam kisah itu Dewi Ayu bukan mati karena dibunuh) dengan perasaan rindu yang ditahan menahun, dan seolah tidak sabar menunggu untuk disegarkan dalam sebuah pertemuan.

"Kita sudah berjalan cukup jauh, dan tinggal selangkah lagi sampai pada rencana yang telah kususun rapi. Jadi tolong bersabarlah, dan jangan berpikir macam-macam," katamu sesaat setelah bebas dari belenggu botol kaca.

"Apa kamu tidak marah dengan apa yang aku lakukan padamu?"

"Hah! Aku sudah terbiasa menghadapi ulah si manusia keras kepala. Lagi pula, kamu telah berkali-kali mematahkan hatiku. Jadi apa lagi? Aku akan membuatmu menangis suatu hari."

"Sudah kuduga. Kamu memang penjahat."

"Aku akan membuatmu menangis dan kemudian memelukku. Tersengal mengucapkan terima kasih, sebab diam-diam aku bersumpah akan menggunakan sisa hidupku untuk membahagiakanmu."

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting