Minggu, 13 November 2016

JIKA BERHENTI ARTINYA MATI

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.52 0 komentar

Selalu ada bisikan kecil yang mempertanyakan, apakah keputusan yang kuambil ini benar? Jika iya, kenapa ada perasaan gelisah seperti bentuk penyesalan yang tak kunjung sirna. Jika salah, mengapa Tuhan tidak membelokkan langkahku agar kakiku tidak sampai menginjakkan bumi Thailand.

Mengkalkulasi biaya hidup selama di negera ini, membuatku kian dirundung penyesalan. Tentang tetek bengek yang semuanya memaksaku merogoh kocek dalam. Tetapi aku punya alasan yang kuat mengapa aku memilih ke sini, waktu itu. Tentu saja bukan untuk bersenang-senang atau menghindari pertanyaan-pertanyaan perihal kepulanganku ke tanah air yang mendadak.

Bagaimana pun juga, sebagai seseorang yang mempunyai tanggung jawab besar atas kelangsungan hidup keluarga, tentu saja aku tidak boleh berhenti mengais rezeki. Tentu kalian tahu, jika aku berhenti, itu artinya mati. Lebih baik berjalan pelan, atau berbalik arah untuk sementara (bukan balik kampung, hanya sedikit memutar haluan dari tujuan semula) yang jelas aku harus terus berjalan. Yang aku tahu, sementara menunggu sebelum akhirnya kembali ke sana, aku bisa kerja parttime di sini. Iya, pekerjaan itu ada, namun sayangnya tidak bisa menutupi biaya hidup selama di sini.

Harusnya aku tidak perlu meratapi keputusanku sendiri sebab tujuanku jelas. Bukankah lebih baik berusaha dan mencoba melakukan sesuatu dari pada hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Manusia akan lebih menyesal jika dalam hidupnya tidak banyak mencoba peruntungan. Aku masih dan akan selalu ingat bahwa hidup ini merupakan perjudian besar. Dalam permainan judi hanya ada dua kemungkinan, kalah atau menang. Dan kedua hal itu tentu saja hanya milik mereka yang berani mempertaruhkan modalnya. Jika tidak menang berarti kalah. Kekalahan saat itu bukan akhir dari segalanya. Kekalahan bisa ditebus dengan berusaha kembali meraih kemenangannya. Bertaruh lagi. Berjudi lagi.

Dimikian nyinyir kali ini. 😊

Senin, 05 September 2016

MENULIS BURUK LEBIH BAIK DARI PADA TIDAK MENULIS SAMA SEKALI

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.10 0 komentar
Satu, dua, tiga, ah aku lupa berapa lama tepatnya perlahan aku menjelma sesosok dungu. Pikiranku tumpul seperti kedua ujung ulekan. Itu terdengar mengerikan, bukan? Iya, beberapa bulan ini, aku benar-benar seperti manusia yang kehilangan jiwa. Hidupku diawali dari ranjang dan diakhiri di tempat yang sama.
Hei, aku rasa tempat itu tidak layak disebut ranjang. Selembar kasur tipis digelar dalam gudang penuh barang-barang tidak terpakai, di sana biasanya aku membenamkan tubuhku. Dalam tumpukan baju-baju, bantal lusuh, selimut yang tak pernah kulipat saat bangun tidur. Kasur yang digelar di atas karpet, bukankah itu tak bisa disebut ranjang!


Namun begitu, aku betah membenamkan diriku di sana. Di kamar yang layak disebut gudang itu. Sesekali, anak-anak kecoa merayap di atasku. Tepatnya di dinding atau di pintu lemari tempat sebagian bajuku kusimpan tenpa kulipat rapi. Tak jarang, anak-anak kecoa tersebut merayap pelan di atas kasur, bantal, bahkan selimut yang membalut tubuhku. Kami tak akrab. Tentu saja aku jijik melihatnya.  Tetapi aku biarkan saja mereka berkeliaran di sana.


Kamu bisa membayangkan betapa kamar itu senantiasa berantakan. Belum lagi buku-buku yang beterbaran di setiap sudut. Buku pelajaran, buku catatan, novel, buku tagihan hutang. Banyak. Anehnya aku betah di tempat itu. Dan aku curiga bahwa di sanalah, sebagian kecerdasan dan pikiran kritisku tertinggal. Terserap oleh tumpukan baju, selimut, bantal, diatas kasur itu. 


Beberapa bulan belakangan, aku benar-benar tidak produktif. Aku merasa menjadi sampah. Hidupku monoton. Bekerja, makan, tidur. Itu saja. Kuliah, no way! Belajar menulis fiksi, males gilak. Boro-boro bikin craft. Males. Males. Mengerikan. Entah kemana perginya aku yang aktif dulu. Yang kalau tidak belajar, merasa bersalah pada semesta karena menyia-nyiakan kesempatan hidup yang limited ini.


Oh, itu semua tidak serta merta terjadi begitu saja sih. Jenuh itu manusiawi, kan? Ya karena aku bukan malaikat, jelas manusiawi banget kalau memiliki titik jenuh. Mula-mula perasaan itu muncul dari tekanan di tempat kerja. Kurasa, usahaku bertahan dalam masa sulit selama hampir empat tahun, sudah bisa membuktikan bahwa aku bukan orang yang tidak bisa menerima keadaan.


Dulu aku begitu iklas diperlakukan seperti apa pun. Aku paling pandai menyemangati diri sendiri. Bisa mencuri waktu keluar. Ngopi, misalnya. Dan hal itu sudah membuatku senang. Tetapi sekarang keadaan sudah lain. Jangankan ngopi. Ke 7-11 yang ada di lantai satu itu, sudah diteriaki suruh cepat balik. Menyebalkan. 
Tadi aku berkata, aku seperti kehilangan jiwa. Jiwaku mengembara entah kemana. *bucet udah kek pujangga aja kata-kata gue* Meskipun begitu, jiwaku masih waras. Tentu saja.


Beberapa saat lalu, aku membaca buku karya Irma Rahayu berjudul Soul Healing Therapy. Akhir-akhir ini, aku suka membaca jenis buku yang beginian. Kebanyakan membaca buku fiksi yang penuh drama romantis yang tentu saja bertolak belakang dengan kehidupan nyata, membuatku semakin uring-uringan tak jelas saja. Dan kalau sudah begitu, aku bisa menuntut Allah dengan pertanyaan bodoh semacam ini, Oh God, why you making like this in my live? Lalu Allah menjawab, Lha why not! 

Menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan alam sekitar, dan apa saja yang dianggap telah mempersulitnya mendapatkan sesuatu yang diimpikannya, adalah tindakan bodoh—wujud ketidak dewasaan dalam menyikapi kegagalan. Dan aku tahu itu.


Ketika melukis warna-warni pada bulu angsa, tidak terlintas olehku bahwa saat bersamaan, bukan mustahil hujan deras menghapus seluruh warna itu. Tidak menutup kemungkinan, air kotor bekas pembuangan industri rumah tangga--menempel, bahkan membungkus seluruh bagian angsa berbulu putihku. Dan itu berarti jika masih ingin melihat angsa berwarna-warni, kembali aku harus mengulang melukis merah, kuning, hijau, dan mungkin akan kutambahkan warna emas, perak, atau apa saja sehingga angsaku tampak memesona.


Aku ingat, bahwa seorang polisi tidak mungkin mengenakan seragam dokter saat bertugas. Seorang bikuni, tidak akan membungkus kepalanya menggunakan jilbab milik ustadzhah. Berarti, setiap hal yang memamg sudah semestinya begitu.


Jumat, 15 April 2016

MUNGKIN JUGA TIDAK PERLU TERLALU SERIUS MEMBACA INI

Diposting oleh Rumah Kopi di 19.21 0 komentar

Kita memang seperti ini. Selalu begini. Tidak pernah berubah meskipun umur telah bertambah. Entahlah. Ada rasa bosan ketika mengingat kembali beberapa peristiwa yang membuat maskaraku meleleh. Meskipun sebenarnya aku tidak pernah memakai maskara, kecuali ketika belajar mengaplikasikan riasan di wajah.

Kamu harus tahu, mungkin juga tidak perlu tahu bahwa kadang-kadang aku kepingin menyedot tubuhmu  menggunakan vacuum cleaner. Kemudian memasukkannya ke dalam botol kaca. Menutupnya rapat-rapat. Selanjutnya aku bergegas ke laut. Bukan untuk piknik apa lagi berjemur. Bukan. Aku tidak suka bau matahari di tubuhku, di rambutku. Kamu tahu, aku gampang berkeringat. Jadi lupakan tentang piknik ke pantai bersamaku.

Dengan botol berisi tubuhmu, pikiran-pikiranmu, juga mulutmu yang enggan terbuka itu, oh tak ketinggalan kusertakan juga keegoisanmu, semuanya terperangkap di sana. Aku melihatmu menggapai-gapai. Kamu berharap aku melepasmu. Dan dari luar, aku menggeleng dengan memasang senyum paling licik namun bahagia. Kepuasan itu membuncah begitu saja setelah berhasil membuatmu tak berdaya. Dan kupikir saat ini dan selanjutnya, aku pasti berhenti menangis. Berhenti sakit hati karenamu.

Omong-omong, sebelum ke pantai, tentu saja aku terlebih dahulu sarapan. Sebab, sarapan adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Dengan setangkup roti tawar isi selada, ikan tuna, mayonis, irisan tomat segar, dan segelas kopi 3 in 1. Aku tidak suka kopi hitam. Kecuali saat itu, dulu pertama kali mencicipi kopi hitam  buatan Ibu yang tentu bukan disuguhkan untukku. Kopi hitam kepunyaan Bapak yang masih mengeluarkan asap tipis meliuk-liuk laiknya penari tiang (aku lupa nama tarian yang diperagakan oleh gadis yang melilitkan tubuh indahnya pada tiang stainless itu, seperti ulat bulu yang merambat pada tanamam) aku menyesap kopi panas itu barang satu, dua, tiga kali, dan uh membuatku tergila gila dengan kopi sampai detik ini.

Jangan bertanya menyoal kesopanan dan semacam itu, mencuri kopi hitam kepunyaan Bapak, sebab pertama kali jatuh cinta dengan kopi, aku masih terbiasa mengenakan kaos dalam serta bawahan berbentuk segitiga dengan motif kartun lucu, bermain-main ke seluruh penjuru kota. Desa ding, kan aku anak desa. :)

Entah kapan tepatnya, pelan-pelan aku meninggalkan kopi hitam. Aku lebih suka menikmati pahitnya kopi, manisnya gula, serta gurihnya krimer, larut bersama. Aku pikir, pahitnya hidup bisa disiasati dengan cara seperti ketika aku menikmati secangkir kopi blanded.

Omong-omong tenagaku cukup kuat untuk melempar botol berisi tubuhmu itu. Betapa girang hatiku melihat botol itu membubumbung tinggi sebelum akhirnya jatuh mengapung di permukaan laut saat itu. Oh iya, sebelumnya, aku telah bernegosiasi pada Tuhan, supaya melindungimu dari tajamnya gigi ikan hiu, rakusnya kawanan ikan paus, dan sepertinya Tuhan setuju akan hal itu. Lalu aku mengusap-usapkan kedua telapak tangan setelah melemparkan botol berisi tubuhmu--seolah-olah baru saja memegang benda kotor. Membalik badan dan mengayun kaki meninggalkan pantai.

*

100 tahun kemudian, pada pagi yang belum sempurna, aku tergopoh menghampiri bibir pantai. Lebih tepatnya menjemput botol kaca yang tergeletak sembarangan di sana. Ketika menemukan benda itu, aku tidak terlalu kaget. Sebab, sesuai doa yang aku panjatkan waktu melempar botol berisi tubuhmu, kurapalkan mantra bahwa kelak, hanya aku yang akan menemukannya. Membebaskanmu. Dan berharap, ketika itu, semua berubah. Tak ada lagi teriakan. Tak ada lagi tingkah lakumu yang menyebalkan itu, juga protes nyinyir dariku, dan itu semua bibit-bibit penyebab kita berdua mabuk emosi yang akhirnya entah kapan mulainya, kita saling melemparkan kata kotor. Lalu kamu terlelap. Sementara aku susah tidur karena migrain.

Saat pertengkaran demi pertengkaran itu terjadi, aku membencimu seperti membenci semangkuk bakso yang telah dingin dan dipaksakan untuk masuk ke mulutku, dan sialnya, setelah terlempar ke perut, bakso dingin itu keluar melalui jalan yang sama. Itu menyebalkan. Sepertimu.

Mula-mula, aku menganggap apa yang terjadi antara kita, adalah kekonyolan dua manusia yang hatinya telah lama kering. Kering karena ketidak hadiran kecintaannya pada kurun waktu lama--di hadapan masing-masing. Lalu seperti mayat-mayat yang bangkit dari kubur, mencari mangsa, balas dendam, sebab mayat-mayat itu belum siap mati. Ya walaupun kenyataannya tak ada makluk yang siap mati. Ini kasus lain, tentu saja mayat itu penasaran mendatangi pembunuhnya.

Ah, sepertinya analogiku tidak masuk akal membandingkan mayat yang bangkit dari kubur mendatangi pembunuhnya (Seperti Dewi Ayu dalam novel Cantik Itu Luka, namun dalam kisah itu Dewi Ayu bukan mati karena dibunuh) dengan perasaan rindu yang ditahan menahun, dan seolah tidak sabar menunggu untuk disegarkan dalam sebuah pertemuan.

"Kita sudah berjalan cukup jauh, dan tinggal selangkah lagi sampai pada rencana yang telah kususun rapi. Jadi tolong bersabarlah, dan jangan berpikir macam-macam," katamu sesaat setelah bebas dari belenggu botol kaca.

"Apa kamu tidak marah dengan apa yang aku lakukan padamu?"

"Hah! Aku sudah terbiasa menghadapi ulah si manusia keras kepala. Lagi pula, kamu telah berkali-kali mematahkan hatiku. Jadi apa lagi? Aku akan membuatmu menangis suatu hari."

"Sudah kuduga. Kamu memang penjahat."

"Aku akan membuatmu menangis dan kemudian memelukku. Tersengal mengucapkan terima kasih, sebab diam-diam aku bersumpah akan menggunakan sisa hidupku untuk membahagiakanmu."

Senin, 29 Februari 2016

KETIKA HARUS BERJUDI DENGAN KEHIDUPAN

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.59 0 komentar

Aku tidak tahu, seperti apa kehidupanku kelak. Itu jelas. Aku toh bukan peramal masa depan. Aku hanya tahu bagaimana mempersiapkan segala seuatu, jauh di awal.

Tentang keputusanku untuk meninggalkan negara yang telah mengajariku banyak hal, sedikit membuatku risau. Tetapi melulu pada kerisauan itu, yang bersifat keduniawian, yang tidak membuatku bahagia, alih-alih nyaman, apa lagi yang kupertahankan?

Aku belajar mengikuti langkah kaki. Tentu saja logikaku masih jalan. Masih hidup. Tentu saja. Bukankah aku ini seperti robot autentik, yang setiap geraknya senantiasa diperhitungkan. Andai saja, ada hal yang keliru, meleset dari perhitungan, aku tahu bagaimana mengantisipasi supaya langkahku tidak terlalu lama timpang. Apakah aku terdengar sombong?

Keputusanku sudah bulat. Aku tidak bahagia di sini, bahkan dengan nominal gaji yang fantastis bagi ukuran wanita.  Ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang mondar-mandir di kepala:

Untuk apa hidupku ini? Apa semua melulu tentang materi yang tak akan terpuaskan sampai akhir zaman.

Aku ingin menemukan jawaban. Aku tidak mau terjebak dan selamanya hidup sebagai tumbal kehidupan. Aku berhak mencari kebahagiaanku. Pun begitu, segalanya masih sama. Prioritas tetap sama. Apa pun itu, hidupku ini tak lain demi memenuhi hajad hidup orang banyak. Selebihnya, aku juga ingin mewujudkan impianku.

Barangkali memang, ini beresiko tinggi. Aku melepaskan sesuatu yang sudah pasti dan menggapai hal yang masih samar. Tapi kan kalau kita tidak mencoba, tak pernah tahu hasilnya.

Hidup itu perjudian besar. Jika tidak berani memasang taruhan, bagaimana mungkin berkesempatan memenangkan hadiah. Lagi pula, bukan hanya hadiahnya yang membuatku bersemangat. Seseorang, yang kelak akan mendampingiku seumur hidup, menungguku di sana.

Pernikahan, hidup seatap, sama-sama mewujudkan impian, adalah pasti menenangkan. Inilah harapan terbesar wanita. Menikah dengan orang yang tepat.

Hidup bukan perihal menambah jumlah nol di rekening. Lebih dari itu, kenyamanan, bagiku segalanya. Ya, saat-saat terburuk, jauh lebih mudah dijalani ketika ada seseorang yang tak pernah melepaskan kita untuk pergi. Segala sesuatu akan terlihat indah jika kita melihatnya dari kaca mata (hati) bening (bahagia). Sebaliknya, semua jadi redup, gelap, kalau kaca matanya kotor berdebu.

Rabu, 17 Februari 2016

KERACUNAN SAMBAL

Diposting oleh Rumah Kopi di 21.26 1 komentar

Lidah jawa, selalu akrab dengan makanan pedas. Tidak selalu sih, tetapi kebanyakan memang begitu, pecinta kuliner pedas. Katanya sih kalau tidak pedas, makanannya kurang sedap. :)

Aku suka pedas. Eh, tapi masih di level standar kali ya. Pedasnya tidak sampai bikin lidah kebas.

Bicara soal pedas, yang jelas pikiran kita tertuju pada sambal. Kapan hari itu, dapat kiriman sambal terasi dari saudara. Seneng sudah pasti. Secara, sambal terasi merupakan makanan langka di negara ini. Dan mengingat, aku sendiri "tidak bisa masak" dan jarang mendapati sambal terasi menghiasi piring nasi, kemarin aku makannya lumayan rakus. Nasinya sedikit, sambalnya banyak.

Oh sial! Semalam, gara-gara keracunan sambal, aku diare. Bolak-balik ke kamar mandi. Sakit perutnya benar-benar parah. Sumpah gilak, habis BAB, langsung muntah. Rasanya mau pingsan. Aku curiga, ditaruh obat pencuci perut pada sambal itu. Pfffttt

Pagi-pagi, aku menelpon saudaraku. Komplain tentang sambal kirimannya. Dia malah terkekeh santai. Katanya, dia juga ikut makan sebelum sambal itu dikirim ke tempatku. Tapi, perutnya baik-baik saja. Yah ... aku jadi garuk-garuk jidat. Mungkin kondisi pencernaan setiap orang tidak sama. Jadi, efek pasca makan sambal pun jelas-jelas memiliki reaksi beda.

Bagi kalian penyuka makanan pedas, ini beberapa efek samping yang ditimbulkan. Hati-hati ya. Boleh makan pedas sih asal tidak berlebihan sehingga diare sampai mau pinsan.

1. Gastritis

Gastritis adalah inflamasi atau peradangan yang terjadi pada lambung. Biasanya gastritis atau yang biasa disebut dengan maag ini disebabkan karena bakteri tetapi terlalu banyak makan cabai juga bisa menjadi salah satu penyebabnya karena makanan pedas dipercaya dapat menurunkan kemampuan lapisan pelindung lambung. Lapisan ini berfungsi melindungi lambung dari asam lambung.

2. Refluks asam lambung

Salah satu yang tidak dibolehkan pada orang yang memiliki penyakit refluks asam lambungadalah mengkonsumsi makanan yang pedas-pedas. Refluks asam lambung kronis dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti kanker esophagus, pneumonia dan gigi rusak karena asam lambung.

3. Insomnia

Kebanyakan kita tidak tahu bahwa selain kafein ternyata makanan pedas juga bisa menimbulkan kesulitan tidur. Ini terjadi karena setelah memakan makanan pedas maka suhu tubuh akan naik (itu sebabnya kita berkeringat setelah memakannya) sementara tubuh perlu melambatkan metabolisme sebelum tidur. Supaya lebih mudah tidur, hindari makanan pedas mendekati jam tidur.

4. Menurunnya kepekaan lidah

Semakin lama orang terbiasa mengkonsumsi makanan yang pedas maka kepekaan lidahnya menurun. Bagi orang lain satu sendok sambal sudah sangat pedas tetapi bagi orang yang terbiasa maka hanya sedikit merasakan pedas. Ini tidak hanya berlaku pada rasa pedas saja tetapi juga berpengaruh terhadap pengecapan rasa lainnya seperti manis, asin, asam dan pahit. Menurunnya indera pengecapan ini tidak jauh berbeda pada berkurangnya pendengaran orang berada dilingkungan bising, keduanya mempunyai akibat yang permanen.

5. Sakit perut dan diare

Ini akibat iritasi pada organ pencernaan karena makanan pedas. Meskipun sifatnya akut dan tidak persisten tetapi ini merupakan suatu tanda bahwa kita sudah kelebihan makanan pedas.

(Sumber: kesehatanlengkap.com)

Minggu, 14 Februari 2016

CARAMEL MACHIATTO YANG HAMBAR

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.44 3 komentar

Tadi, setelah enam bulan yang lalu, aku datang lagi ke sana. Kedai kopi favorit kita. Benar tidak ya, itu tempat memang favorit, atau kita berdua kurang familiar dengan kedai kopi di Ximenting. :)

Terakhir ke sana, beberapa hari menjelang kepergianmu dari negara ini. Lalu, aku memutuskan tidak akan mendatangi Starbucks lagi. Bukan apa-apa sih, hanya saja, kenangan saat kita asyik menikmati setiap detik yang terus merangkak pergi, membuat rasa kangen kian menjadi. Dan betul saja.

Sepulang les, tadi aku mampir ke Starbucks dengan teman. Ketika mengantri di meja barista, kok rasanya lain. Biasanya, kamu yang berdiri di sebelahku, dan ketika bukan dirimu yang kudapati di sana, aku sedih.

Starbucks masih seperti yang dulu. Dan sialnya, tadi aku mendapat tempat di lantai 3, pojokan. Kamu ingat kan? :(
Caramel Machiatto, kopi favorit kita itu, yang biasanya enak dan selalu membuatku kurang sehingga merebut bagianmu, demi Tuhan, terasa hambar.

Air mataku jatuh satu-satu, masa. Tidak tahu kenapa? Jatuh begitu saja. Padahal aku tidak serapuh itu, kamu tahu. Aku hanya sedikit merasa sedih. Sedih telah berusaha membohongi diri sendiri bahwa aku membencimu dan berniat meninggalkanmu. Sedih telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya, aku sendiri tidak ingin mendengarkannya.

Aku tidak pernah mempermasalahkan masa depanmu, tidak pula merendahkanmu atas keadaan hidupmu. Aku menerimamu seperti kamu menerima keadaanku. Bahkan aku salut denganmu. Jika jadi kamu, belum tentu aku mampu menjalani hidup dengan penuh tekanan yang entah kapan berakhirnya.

Aku tidak pernah menjanjikan apa pun. Hanya saja, berniat memberikan dukungan dan menyediakan pundak untukmu bersandar dari beban hidup. Aku rumahmu. 

Tapi .... Kamu membenciku? Ah itu hanya ucapan saat emosi. Aku tahu kamu menyayangiku.

Aku ingin menua dengan melepas kegelisahan. Mendamaikan hati dengan tidak banyak memikirkan hal yang membuatku kian tertekan. Memasrahkan segala sesuatu pada Tuhan. Tentu saja setelah aku berupa terlebih dahulu. Dan kurasa, upayaku sudah lebih dari cukup. Maaf jika belum maksimal. Karena toh aku hanya manusia yang tak luput dari salah. Nabi saja, pernah salah, apa lagi aku? Kembalilah ketika rindumu sudah amat menggila. Sebelum itu, mari berbicara tentang setia ala penulis keren ini: Fadh Pahdepi.

Setia adalah melindungi.

Lazimnya seseorang yang bisa melindungi orang lain, dirinya harus terlebih dahulu selamat dari marabahaya. Melindungi tak sama dengan ‘menyelamatkan’. Mungkin kita bisa tidak selamat ketika kita berusaha menyelamatkan orang lain. Tapi kita tak bisa melindungi orang lain jika kita sendiri tak terlindung, bukan? Setia adalah situasi semacam itu… Saat kita tahu bahwa rasa cinta dan sayang kita telah terlindung, sehingga kita bisa melindungi perasaan orang yang kita cintai atau sayangi. Dalam relasi semacam ini terdapat hukum sebab akibat. Semua akibat yang kita terima ditentukan oleh sebab-sebab yang kita ciptakan. Jika kita tidak ingin disakiti, maka kita tak boleh menyakiti. 

Setia itu takut.

Ketakutan adalah situasi di mana kita tak bisa mengukur kekuatan kita sendiri karena kita tak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang situasi yang sedang dihadapi. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, seberapa besar ujian yang akan datang, seberapa berat cobaan yang akan menimpa, dan seterusnya… Di sini, rasa takut diperlukan agar kita mawas diri. Kekhawatiran dibutuhkan agar kita selalu rendah hati dan tidak jumawa merasa bisa menghadapi semuanya sendirian. Kita selalu butuh teman sejati, seseorang yang akan mendampingi kita dalam kondisi apapun dan bukan seseorang yang hanya akan membersamai kita saat bahagia saja… Setia adalah rasa takut kehilangan teman semacam itu.

Setia itu tidak mendua.

Tidak menduakan cinta. Tidak menduakan rasa. Tidak menduakan hati. Tidak memberi kesempatan untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa membuat satu hati tersakiti.

Setia itu bersyukur.  

Sabar itu ada batasnya, tetapi syukur tak pernah memiliki batas. Syukur itu meluaskan. Cara berpikir kita akan sempit ketika kita gagal bersyukur. Mungkin seseorang yang selama ini kita cintai memiliki banyak kekurangan. Jika kita tidak bersyukur, tentu kita akan mulai mencari yang tak dimiliki pasangan kita pada diri orang lain. Tetapi jika kita bersyukur, betapa kita akan tahu bahwa seberapa banyak pun kekurangan yang dimiliki pasangan kita, sebenarnya tak bisa kita bandingkan dengan begitu banyak kelebihan-kelebihan yang telah ia berikan dalam hidup kita selama ini. Syukur semacam itu mungkin tak akan mengubah masa lalu, tetapi pasti melapangkan masa depan.

Tapi, di atas semua itu, setia itu sulit…

Maka hanya mereka yang bersungguh-sungguh mencintai saja yang bisa setia. Ya, setia itu sulit. Sebab jika ia mudah, tak akan ada orang yang memiliki cinta yang luar biasa.

Selasa, 02 Februari 2016

KARENA HIDUP BEGITU BERHARGA

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.06 0 komentar
Dragon Ball saja, berjuang agar hidupnya lebih baik. Masa aku kalah sih. :D 

Aku dan mungkin juga pekerja lainnya, tidak bisa mengelak atas sebuah tekanan. Tekanan dari pekerjaan. Terkadang bukan pekerjaan itu yang membuat rumit. Melainkan perilaku sok kuasa 'ia' yang adalah pemilik atas kebebasan para pekerja, membuat semuanya terasa menyebalkan.

Tolong jangan menghakimi bahwa aku dan mungkin juga mereka yang hidupnya di bawah tekanan, berhati lembek. Manja, lebih tepatnya, sehingga mengkambing hitamkan tekanan-tekanan itu sebagai sesuatu yang patut ditakuti. 

Takut sih tidak. Mungkin hanya kesal. Betapa pun pandainya seseorang menahan emosi, adakalanya kondisi fisik yang lelah, dengan emosi yang menggunung, sama halnya menggenggam bom yang suatu saat, menunggu waktu, meledak.

Kadang-kadang aku kehabisan cara menyemangati diri sendiri. Bahwa aku punya motifasi besar atas apa yang sedang kupertahankan saat ini. Bertahan pada masa-masa menyebalkan, hidup bersama dengan orang asing yang menganggap dirinya adalah bebas menyuruhku lompat dari ketinggian lantai 7, tentu saja bukan hal mudah. 

Aku hanya bisa berkata dalam hati, ayolah ... Ini hanya sementara. Segala sesuatu, apa pun itu, diawali dari yang sulit dulu. Bahkan di sela hari-hari sulit ini, aku bisa melanjutkan pendidikan. Lagi pula, dari sini aku mendapatkan banyak kesempatan yang barangkali luput jika aku tetap bernaung di bawah lindungan orangtua. 

Untuk mendapatkan sesuatu yang besar, tentu saja mesti ditukar dengan hal yang besarnya sebanding. Pengorbanan, entahlah jika aku menyebut ini pengorbanan, semoga tidak terlalu mendramatisir. Yang jelas, semua rasa lelah hati dan fisik, terbayar lunas dengan apa yang kuperoleh. Menjadi tulang punggung keluarga, meskipun orangtua tidak menuntut atas hal itu, namun sumpah hal ini membuat hidupku lebih berarti. Ya, paling tidak, tak sia-sialah mereka memiliki anak sepertiku. Hehe 

Bukan hanya senyum bangga dari orangtua, gelar sarjanan ekonomi yang akan kubawa pulang ke tanah air kelak, adalah bukti bahwa kesulitan seperti apa pun tidak lantas menyurutkan niatku dan berhenti di tengah jalan sebelum tujuanku tercapai. 

Prinsip hidupku, akan kuupayakan apa pun itu semaksimal mungkin. Ngeyel barangkali. Aku akan menyerah jika semua jalan, tertutup. 

Aku lelah. Tapi hidupku bukan melulu menperjuangkan kebahagiaan atau masa depanku sendiri. Ada banyak tanggung jawab yang menuntunku untuk tetap tegak meskipun nyeri itu membuatku meradang. Hidup terlalu berharga jika hanya diawali dari turun ranjang dan kembali ke ranjang, tanpa melakulan sesutau yang hebat. 

 

Minggu, 24 Januari 2016

DOSEN MASA GITU

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.55 0 komentar
Kita hidup di zaman yang awakward di mana hal biasa menjadi heboh karena pemberitaan yang berlebihan di sosmed. Greget sih! Salah makan apa ya mereka itu? Atau kesambet apa gitu para pengguna internet tersebut sehingga latah menyebar luaskan dan memberitakan berita yang tidak penting amat. 

Merunut ke belakang. Mengingat tragedi bom di Jakarta beberapa waktu silam. Di mana perhatian publik teralih oleh sosok polisi ganteng. Yang menurutku tidak ganteng amat. Sumpah demi apa pun, isi perutku sempat mau berontak ketika apa yang menempel pada polisi yang katanya ganteng itu, menjadi sempel produk pada lapak jualan toko online. Kalau tidak salah, sepatu dan tasnya. (Kenapa nggak sekalian dalemannya juga dijadikan sempel produk haha) 

Selain polisi yang katanya ganteng itu, ada banyak polisi lain yang aksinya tak kalah keren seperti di film laga. Sempat melihat salah satu TV Nasional menyebut-nyebut seseorang berbaju putih yang tertangkap kamera CCTV, diyakini sebagai teroris. 

Hallo ...! Awak media kok begitu semberono menyebarkan berita. Menurut pemberitaan TV tersebut, sesosok berbaju putih itu ialah salah satu anggota teroris, masa. Padahal ia AKBP Ir Untung Sangadji Hendro. :(

Yang masih hangat adalah berita tentang Wayan dan tangan robotnya. Laki-laki asal Pulau Dewata itu disebut-sebut sebagai pembohong dengan ciptaanya, tangan robot. 

Ih pliz deh! Kenapa pada usil banget mempermasalahkannya. Wayan mencari makan dengan tangan ciptaannya itu. Ia tidak mencuri. Tidak juga menyalahi orang lain. Tidak minta diliput begitu diliput dan terkenal malah dipojokkan digadang-gadang sebagai pencipta tangan robot gadungan. Kesyel sumpah! 

Ayolah menjadi pengguna internet yang cerdas. Jangan ganas menghadapi sesuatu hal biasa. Jangan menjadi pribadi yang kagetan. 

Ada hal lain yang sempat membuatku geregetan. Dan perutku sempat menegang karenanya. Bagaimana tidak, jika seorang dosen membagikan video tawuran antar TKI wanita, di Negeri Beton, beberapa saat lalu. Sumpah! Tindakan dosen itu membuatku ilfeel! Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari menyebarkan video purba itu? Aku menamainya video purba. Sebab, perkelahian hanya dilakukan oleh manusia purba yang otaknya masih alami. Naluri purba. Naluri binatang di mana untuk mempertahankan sesuatu, dilakukan dengan kekerasan. Perkelahian. 

Kembali ke dosen dan video heboh. Demi apa publik harus melihat tontonan itu? Supaya tahu bahwa mental sebagian TKI serendah itu? Bukankah yang seperti itu harusnya dibungkus. Malu. Jika ada yang mesti dilakukan, ya sebaiknya memberikan pengarahan pada mereka yang memiliki darah dan naluri purba itu supaya tidak mencoreng nama baik bangsa, di negri orang. 

Pak Dosen, wajah TKI yang sudah kadung jelek di mata penduduk Indonesia sendiri, setidaknya sedikit tertupi apabila jarimu tidak sembarangan menekan tombol 'BAGI'. (Kesel deh jadi mahasiswa Anda :( 
Pak Dosen, jika waktu luangmu begitu banyak, mending berbagilah ilmu yang bermanfaat dengan kami. 


Ada lagi yang paling heboh saat ini. Aku pikir ada yang lebih penting dari pada sekadar membicarakan salju di musim dingin. Apanya yang wow gitu? Salju turun di negara yang setiap tahunnya mengalami musim dingin. Itu hal biasa. Menurutku. Kecuali kalau salju itu turun di musim panas. Baru heboh. 

Hak kalian sih menghebohkan sesuatu yang biasa dan memenuhi beranda FB dengan berita itu-itu saja. Kalau tidak mau melihat, ya cukup log out dari FB. Beres. Tetapi, ada tapinya loh ... kalian termasuk pribadi yang kagetan. Hal biasa menjadi luar biasa, seolah-olah. Sampai ada yang lompat-lompat kegirangan gitu. Norak. NORAK. 

Kamis, 21 Januari 2016

LAKI-LAKI TUA DAN SETUMPUK SELEBARAN

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.02 0 komentar


Hari ini kotaku muram. Amat muram selaiknya seseorang yang baru patah hati, atau baru kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya. Musim dingin ditambah hujan deras. Emperan pertokoan menjelma bak kandang bebek. Becek oleh tempias, bekas kaki yang berlalu lalang, tetesan air dari ujung payung yang dibawa oleh orang-orang yang berjalan tergesa. Entah demi apa? 

Aku berlari kecil menuju 7-11. Pandanganku tertumbuk pada laki-laki tua yang berteduh di emperan pertokoan sambil membagikan selebaran. Sebelum sampai di depan laki-laki tua tersebut, mataku terus mengamati. Tak terhitung berapa banyak orang yang melintas di depannya, menolak menerima selebaran yang dibagikan. 


Lalu aku bertanya dalam hati, bagaimana dulu orangtua mendidik anak-anaknya sehingga kebanyakan dari anak-anak tersebut tumbuh menjadi manusia bebal. Manusia yang tidak memanusiakan orang lain. Manusia yang enggan mengangsurkan tangan demi menerima selebaran yang dibagikan di pinggir jalan. Merasa bahwa selebaran itu amat tidak penting baginya, barangkali. 




Mungkin selebaran tersebut memang tidak penting. Tetapi demi rasa kemanusian, kiranya sudilah menerimanya. Menerima selebaran itu lalu meremas dan kemudian membuangnya, tidak apalah. Yang penting selembar selebaran itu berkurang. Selebaran yang isinya tentang iklan sebuah warung makan yang baru dibuka tanggal 20 kemarin. Yang menawarkan makanan murah selama dua hari, demi menarik pelanggan. Dan laki-laki tua bekerja membagikan selebaran, demi sejumlah uang, tentu saja. Dan tidak banyak jumlahnya. 



Mekanisme pekerjaan laki-laki tua itu, sederhana. Tetapi membutuhkan kerjasama orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Bayarannya tergantung dari setumpuk selebaran tersebut. Jika habis dalam sekejap, maka ia bisa secepatnya menerima upah. Jika selebaran itu tidak habis sampai malam tiba, maka ia tetap berdiri di sana, mencoba membagikannya, dan terus begitu sampai selebaran itu tak terisa, baru ia akan mendapatkan hasil jerih payah. 

Pekerjaan yang semacam itu, sering diremehkan. Laki-laki tua tubuhnya dibalut jaket motif kotak-kotak, topi yang terlihat usang, dengan wajah lelah yang dipaksakan tersenyum ramah, bagaikan benda tidak penting yang keberadaannya tak perlu diakui. 

Pekerja jujur yang menjual tenaga itu, justeru sering kali dipandang remeh. Tetapi si bedebah yang berpakaian rapi, pembawaannya intelek, bermulut manis, yang setiap ucapannya menguarkan kebohongan, yang otaknya penuh tipu muslihat, justeru diakui, dipercaya, dihormati.

Entah bagaimana memaknai hidup ini! Keadilan itu seperti apa? Kenapa orang-orang bedebah dibiarkan memperoleh uang serta tetek bengek bersifat keduniawian dengan mudah. Sementara itu, yang bekerja seperti robot autentik, mesin-mesin penggerak roda kehidupan, tumbal-tumbal keluarga, lekat sekali dengan kesulitan, hanya demi memperjuangkan hidup yang lebih baik?

Oh maafkan aku jika pertanyaan ini membuat-Mu tersinggung, Tuhan. Aku tidak bermaksud lancang. Bertanya sesuatu yang jelas-jelas semua itu, tak ada yang luput dari pengamatan-Mu. Segala sesuatu yang terjadinya telah Kau ketahui. Tetapi boleh kan sekiranya, aku sedikit tahu tentang mengapa orang jahat  diberikan kemudahan dalam hidupnya. Sementara orang baik, malah sebaliknya? 

Nasib ditentukan oleh manusia itu sendiri atas usahanya, katanya. Aku tidak percaya sepenuhnya. Sebab, ketika berusaha untuk memperjuangkan sesuatu, tak selamanya berjalan linier. Kadang-kadang nasib seolah mempermainkan. Nasib terbahak sambil memegang perut yang menegang melihat manusia yang gagal dan menemui jalan buntu ketika berupaya. Kemudian pulang telanjang memanggul kekalahan.

Manusia sebagai pelaku kehidupan yang terlanjur tengik, dipaksa menerima takdir apa saja. Dan tidak berhak menentukan hidupnya kecuali semua telah diatur oleh-Nya. 

Jika boleh dan bisa memilih, orang tua itu pasti ingin bertukar posisi, menjadi bagian yang melintas di depan orang yang sedang membagikan selebaran. Tetapi apa boleh buat, sekali lagi takdir telah bertindak semena-mena atas dirinya. 

Lalu aku mulai meraba diri sendiri. Bukankah aku dan pekerjaanku lebih baik darinya. Dari laki-laki tua itu yang bahkan harus membawa air putih dalam botol bekas di jejalkan dalam tas usangnya. Dan ketika kakinya pegal, tidak ada tempat untuknya duduk. 

Seringkali manusia iri dengan manusia lainnya. Iri dengan mereka yang mendapat kehidupan lebih baik. Padahal belum tentu kenyataannya begitu. Ketika orang lain bisa begini dan kenapa dirinya tidak, lalu pikirannya mulai berontak.  Manusia yang suka iri tersebut hanya memandang dari satu sisi. Ambil contoh, ketika kita melihat sesosok tubuh dari ketinggian tertentu, yang tampak hanya titik hitam, yang merupakan kepalanya. Sementara, ketika melihat tubuh dari kejauhan, bukankah yang terlihat hanya segaris lurus. Jadi buat apa iri dengan kehidupan orang lain. Kenapa tidak melihat bahwa masih banyak orang-orang yang tidak lebih beruntung dariku, darimu, dari kita. 



Sabtu, 16 Januari 2016

JATUH

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.45 0 komentar

Jatuh itu tidak sakit, kalau jatuhnya di hatimu. :D

Sudah berhati-hati tetapi masih jatuh. Ini berarti penyebab masalah bukan melulu dari diri sendiri. Malainkan faktor sekitar. Ngeles :D


Belajar dari fenomena jalan raya. Banyak sekali kendaraan yang melintas. Baik searah maupun berlawanan. Yang jelas, semuanya ingin segera sampai di tujuan. Begitu juga aku. Tetapi, kadang dihadapkan pada kenyataan bahwa perjalanan tentu saja tidak semulus ekpektasinya. 

Kecalakaan, ban bocor, demo di jalan raya, lampu merah, karenanya perjalanan menjadi sedikit lebih lambat. Sedikit lambat. Itu saja. Tetapi tidak ada perjalanan yang tak mengantarkanku sampai di tujuan. Asal aku tidak menyerah. Semua butuh waktu. 

*

Hari ini malas sekali. Malas. Malas. Malas. Malas itu kalau di salah satu akun sosmed berteman dengan keponakan. Bukan malas sih. Malu. Sebab, sebagai saudara yang lebih tua, harus memberi contoh yang baik kan. Eh, meskipun aku tidak nyeleneh di sosmed tetap saja malu sih kalau pas upload video, dikomentari keponakan. 

IG-nya Maulanarizky93. rizky_rainer. Berteman di IG dengan keponakan kecil itu, yang suka kepo itu, jadi keki. Aku gusur besoknya dicari. Uh dasar anak-anak. Bukannya fokus sama sekolah malah .... :(

Kalau membahas Rizky, rasanya sedih. Anak itu. Ya ampun. Kasihan. Dia anak penurut. Tidak mau menyusahkan orang lain meskipun keadaan ekonomi keluarganya jatuh. Kalau ditanya, butuh apa? Selalu menjawab, tidak butuh apa-apa, Mbak. Lalu nasihat lugu, meluncur darinya begitu saja. Menguatkanku untuk selalu tegar dan tidak usah memikirkan banyak hal. 

Bagaimana aku tidak memikirkan banyak hal? Segala sesuatu, yang masuk ke telinga, membuatku tidak bisa berhenti untuk tidak ikut meringankan beban. Mendengar Icha dimarahi guru karena bersepatu merah muda, belum melunasi daftar ulang, reflek otakku memutuskan menyusihkan sebagian uang untuk kekuarga tante. Bulan depan. Kenapa laptopnya ikutan rusak. Sedih. 

Senin, 11 Januari 2016

TERSESAT MERUPAKAN CARA TUHAN MENUNJUKKAN TEMPAT BARU YANG BELUM PERNAH KUKETAHUI SEBELUMNYA

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.17 0 komentar


Ah, ya! Demi sesuatu yang dituju, terlebih dahulu, Tuhan menguji dengan membuatku tersesat. Jauh. Lelah sudah pasti. Lantas seberapa besar keyakinan, kesungguhan yang kumiliki untuk mencapai tujuan itu, tetap ada pilihan, menyerah atau melanjutkan. Semua pilihan ada padaku. Dan aku memilih melanjutkan sebab dengan begitu aku bisa menemukan kebahagiaan, kepuasan, yang tersembunyi dibalik kesulitan. Siapa bilang aku tidak mandiri. Aku berani mengambil resiko. Apa pun itu. 

*

Seharusnya memang tidak ada yang perlu ditakuti, kecuali Dia. Sebab, setiap langkah yang kutempuh, tak luput dari campur tangan-Nya. Dia tahu perihal apa saja yang terjadi padaku. Dan Dia akan memelihara hal-hal baik yang memang sejak awal disiapkan untukku.

Berbicara tentang langkah, kemarin pertama kalinya aku pergi ke Daan Park. Salah satu taman terbesar berada di wilayah Taipe, seorang diri. Aku melangkah ragu begitu keluar dari kereta bawah tanah, menuju 台北市大安區和平東路二段 24 號 6F. Sebab, seperti yang aku tahu, setiap stasiun kereta bawah tanah memiliki banyak pintu keluar. Dan setiap pintu memiliki akses berbeda. 

Sempat mondar-mandir mencari pintu yang tepat. Oh iya, tentu saja banyak informasi di sana. Semacam peta wilayah di sekitar stasiun. Menggunakan dua bahasa; Inggris dan Mandarin. Ah sialnya, alamat yang kucari tidak tertera pada peta wilayah tersebut.

Akhirnya, aku bertanya pada seorang, katakan saja tante baik. Sebenarnya, dia juga tidak tahu alamat yang aku perlihatkan. Lalu, dengan gadjet-nya dia membantuku menemukan jalan. Tetapi, dia tidak membantu banyak. Hanya menunjukkan letak tempat yang kucari. Jauh sekali, katanya. 

Aku nekat keluar dari pintu, sembarang. Sampai di luar stasiun aku bertanya pada petugas barangkali dia satpam stasiun, tapi entahlah, toh dia juga tidak banyak membantu. Lupakan.

Menyebalkan ketika google map ini juga tidak banyak membantu. Malahan, menyesatkan. Sialan. Katanya, aku disuruh belok kanan dan jalan lurus sejauh 3 km. What! Padahal, aku sudah jalan selama 20 menit dan hanya muter-muter di tempat yang itu-itu juga. 

Rasanya pengen menyerah. Aku capek. Dan waktu pun sudah terbuang banyak. Telat masuk kelas pertama yang aku ikuti. Tetapi, sayang sekali bukan, jika aku menyerah begitu saja! Sudah kepalang capek. Gagal pula, masa. Bukankah itu terdengar kurang cerdas. 


By: taipe.travel

Oh iya, dari dulu aku meyakini bahwa tersesat merupakan salah satu cara Tuhan, menunjukkan tempat baru yang belum pernah aku lihat secara langsung, sebelumnya. Kejadian kemarin, membawaku sampai di Masjid Daan. 

Masjid Agung Taipei (Mandarin: 臺北清真大寺; Hanyu Pinyin: Táiběi Qīngzhēn Dàsì) adalah masjid terbesar dan termasyhur di Taiwan dengan jumlah wilayah keseluruhan 2.747 meter persegi. Mesjid ini terletak di distrikDaanKota Taipei. Mesjid ini adalah bangunan Islam terpenting di Taiwan dan dicatat sebagai landmarkbersejarah pada tanggal 26 Juni 1999oleh pemerintahan kota Taipei[2].

Masjid ini dibangun didanai bersama oleh pemerintah Taiwan dan pemerintahArab Saudi selesai pada tanggal 13 April 1960 didesain oleh arsitek ternamaYang Cho-cheng, yang juga membangun Hotel Yuanshan dan Balai Peringatan Chiang Kai-shek. (Sumber: wikipedia)

Tentu saja, aku tidak sempat mengambil gambar masjid itu. Aku panik. Waktu izinku hanya sampai pukul 3 sore.


Tak terhitung jumlah orang yang kutanyai perihal alamat yang kucari itu. Sampai akhirnya, aku bertanya kembali pada seorang berusia 40 tahunan. Baik sekali. Orang itu mengantarkanku ke alamat yang kucari. Berlawanan arah dari petunjuk yang tertera di google map

Lega meskipun harus kambali jalan kaki yang amat jauh. Oh iya, orang itu tidak mengenali bahwa aku bukan penduduk Taiwan. Sempat dia bilang: bahasa mandarinku bagus, dan tampangku tidak jauh beda dengan orang Taiwan. Dalam hati sempat aku berkata; Kalau aku orang Taiwan, mana mungkin aku kesulitan mencari alamat ini. Setidaknya, mudah saja bagiku membaca tulisan mandarin di setiap sudut jalan. Tetapi, aku harus berterima kasih padanya. Jika tidak ada dia, barangkali aku hanya muter-muter disesatin google map si doraka. 

Akhirnya aku sampai di kelas, pukul 2:30. Haha sial. Sial yang manis. Setidaknya, kelak aku tidak perlu muter-muter lagi, tersesat, niat nyerah, nangis, dan segala macam. Untungnya, seperti pada kelas-kelas pertemuan pertama umumnya, acaranya hanya perkenalan diri dan sedikit mengenal huruf mandarin. 

Sempat nyengir sih, ya ketika Laushi memanggilku Gigi. Wajahku lucu, gemesin, katanya. Ha? Aku pikir itu karena susunan gigiku yang berantakan sehingga guru cantik itu menyebutku demikian. Ternyata, Gigi yang dimaksud, istrinya si Raffi. Nyengir. 

Dari pengalaman kemarin, dapat kutarik kesimpulan, bahwa tak ada jalan yang tidak berujung. Tak ada kesulitan yang abadi. Tak ada yang perlu ditakuti sebab, semua ketidaknyamanan atau apalah itu, berlaku sementara. Dan jika kita mencari, apa pun itu, pasti bisa ditemukan selagi aku tidak menyerah ditengah jalan. 

Ah, ya! Demi sesuatu yang dituju, terlebih dahulu, Tuhan menguji dengan membuatku tersesat. Jauh. Lelah sudah pasti. Lantas seberapa besar keyakinan, kesungguhan yang kumiliki untuk mencapai tujuan itu, tetap ada pilihan, menyerah atau melanjutkan. Semua pilihan ada padaku. Dan aku memilih melanjutkan sebab dengan begitu aku bisa menemukan kebahagiaan, kepuasan, yang tersembunyi dibalik kesulitan. :D

Rabu, 06 Januari 2016

KAMU YANG TELAH MEMILIKI HATIKU

Diposting oleh Rumah Kopi di 15.30 0 komentar

Rasanya seperti disengat ribuan lebah, ketika aku tak lagi bisa menggapaimu. Padahal itu bukan apa-apa. Kamu hanya ingin menyendiri. Tetapi hal itu sudah membuatku panik. 

Ada yang lupa kusadari, bahwa kebahagianku bukan ada pada benda lain, barang mewah, atau apa pun, kecuali setiap aku menghembuskan napas, aku tahu ada seseorang yang begitu menyayangiku. 

Barangkali pengorbananmu tak terlihat olehku. Tetapi ini cinta, bukan persembahan atau apa, yang jelas tak perlu ada pengorbanan. Tak usah ada janji muluk-muluk. Tetapi hanya butuh saling mengasihi. Saling menjaga. 

Kebahagiaan itu bukan terletak pada pemberian-pemberian, kebahagian itu berupa kehadiran. Kehadiranmu setiap waktu. Canda tawa. Nasihat-nasihat. Apa pun. Dadaku panas. Kamu tahu? Aku megap-megap. Entah kenapa aku seperti ini. Padahal aku tahu kamu tidak akan pernah pergi dariku. Tapi sumpah dadaku panas ketika aku tak bisa menggapaimu. 

Aku ingin ditemani kamu, semalam. Saat aku tak berdaya, ketika jarum suntik kembali meninggalkan sedikit nyeri. Aku tidak mau bilang bahwa aku sakit. Aku tak mau memenuhi isi kepalamu lagi dengan hal-hal yang mungkin bisa mengusik ketenanganmu di sana. 

Oh iya, aku tidak melarangmu berbuat baik. Tetapi, tolonglah beritahu aku jika melakukan sesuatu supaya belakangan tidak menimbulkan salah paham. 

Aku pernah jatuh cinta. Tetapi hanya denganmu aku menemukan keberanian-keberanian yang sudah mati sejak aku dinyatakan mewarisi penyakit jantung dari kakek. Padahal, jantungku baik-baik saja. Tetapi entah kenapa orangtuaku begitu khawatir jika aku mati muda. Maka dari itu, mereka menjadikanku boneka. Boneka yang selalu takut mengambil keputusan dalam hidup.

Denganmu, aku berani mengambil resiko apa saja demi masa depanku, kamu, dan anak kita. 



Senin, 04 Januari 2016

AKU YANG CEMBURU DENGAN MASA LALU

Diposting oleh Rumah Kopi di 08.49 1 komentar

Foto: by IG @dagelan

Sebenarnya, aneh sekali jika ada orang yang masih saja suka cemburu dengan masa lalu. Apa lagi, kejadian itu terjadi beberapa tahun sebelum hadirnya cinta yang baru. 

Masa lalu tempatnya di belakang. Sementara, setiap langkah bergerak menuju ke depan. Aku paham ini dan kamu tahu itu. Jika tidak ingin melihat sesuatu yang barangkali menyakitkan, ya sudah tidak perlu menoleh. Sederhana saja sih. 

Barangkali, ada beberapa jenis manusia yang gemar mendulang perkara. Alih-alih mendamaikan hati sendiri, malahan kerap kali kurang kerjaan mencari tahu masa lalu pasangan. Padahal yang seperti itu benar-benar tidak ada manfaatnya. Malah sebaliknya. Sialnya, orang itu aku.

Kamu tak tergantikan atau Sudahlah pilihanku sudah bulat, kamu jangan khawatir. 

Aku sering menemukan status seperti ini, di wall facebook-mu. Kira-kira empat tahun silam. Ucapan semacam itu kerap mengganggu. Namun aku berusaha menyadari, bahwa apa yang terlontar di permukaan kala itu, sesuai dengan keadaan dan suasana hati. Tetapi bukankah hati merupakan bagian dari manusia yang paling mudah berubah-ubah. 

Boleh jadi saat itu kamu memang benar-benar menginginkan pasanganmu, tetapi jika cinta kalian hebat, apa pun yang menjadi penghalang, tentu saja bisa ditaklukkan. Buktinya, kamu menyerah. Buktinya kamu malas memperjuangkan perasaanmu sendiri. Bisa jadi, itu karena kamu belum benar-benar menemukan apa itu cinta sejati. 

Sebenarnya aku sendiri juga tidak paham, apa itu cinta sejati. Hanya saja, jika dua orang saling menginginkan satu sama lain, keduanya akan sama-sama berjuang menjalani masa sulit, saling menguatkan, jika yang satu ingin menyerah hendaknya yang satunya mempertahankan, dan akhirnya menikmati kebahagian bersama. 

Jika mencari pasangan yang sesuai dengan kriteria, aku pikir sampai planet Jupiter bisa dijadikan tempat asyik untuk selfie, hal itu pun tak akan pernah terjadi. Sebab, Allah tidak pernah mengajari umat-Nya untuk bermanja-manja. Dalam artian, bukan tidak mungkin Dia menghadirkan seseorang yang sifat maupun sikapnya, bertolak belakang dengan kita. Untuk apa? Tentu saja supaya manusia belajar menerima, menyesuaikan diri, atau bahasa paling gamblangnya, yang demikian itu bertujuan mengamplas hati. Tidaklah orang yang egois dibiarkan terus mengumbar keegoisannya? Tidaklah orang manja, dibiarkan terus menerus mengikuti hawa nafsunya? 

Ketika orang manja dan egois dipertemukan, dan keduanya sudah saling mencintai, dan demi menjaga hubungan yang sudah lama terjalin, lambat laun keduanya mampu menanggalkan keegoisan dan kemanjaannya tersebut. Keduanya melebur. Saling berusaha membahagiakan. Bukan lagi menuntut untuk dibahagiakan. 

Cemburu sih manusiawi. Asalkan masih logis. Dan tidak sampai menyebabkan pertengkaran. Masa lalu tidak bisa dihapus. Itu merupakan bagian dari perjalanan hidup. Masa lalu hanya akan sesekali dijamah ketika memang perlu melakukannya. Selebihnya, tinggalkan masa lalu dalam kotak kenangan. Dan bersiap menyambut masa indah yang akan datang. 



Jumat, 01 Januari 2016

TOH YANG DINIKMATI KOPINYA, BUKAN CANGKIRNYA

Diposting oleh Rumah Kopi di 03.59 0 komentar

Sudah tahun 2016 ya. Menurut kalian apa yang perlu dirayakan saat pergantian tahun? Tahun berganti tetapi banyak ritual yang tidak terganti. Semisal, jika tidak kerja maka tidak jajan.

Oh iya, omong-omong, aku lupa kapan terakhir kali meminta uang jajan pada orangtua. Bagiku, ini suatu perkara besar. Maksudku begini, bukankah semua perubahan dalam hidup, diawali dengan tindakan. Tak peduli sekecil apa pun itu. Yang jelas, demi pergeseran dari sebuah titik menuju titik lain, itu butuh tindakan. Dulunya, semua harus serba ada. Dan akhirnya, harus bersusah payah agar keinginan bisa terpenuhi semua.

Sampai kapan anak hanya menengadahkan tangan? Sementara, waktu terus bergerak, mau tidak mau mengantarkan orangtua menuju usia yang kian senja. Lalu, apa masih tega menjadi beban hidup mereka yang meskipun keduanya tidak keberatan, tetapi bukankah tenaga dan pikirannya tidak lagi sekuat dua puluh lima tahun silam.

Ketika masih berbentuk telur, anak ayam hanya meringkuk dalam cangkang. Dunianya sebatas itu saja. Akan tetapi, ketika cangkang tersebut pecah, berarti kehidupan baru telah dimulai. Kehidupan luas mengajarkan bagaimana mencari dan bertahan.

Mula-mula anak ayam takut-takut berpisah dari gerombolan saudara serta induknya. Namun, segala hal berproses. Lama-lama ketakuktan itu lenyap seiring bergulirnya masa dimana anak ayam telah tahu bagaimana caranya berjuang dalam kehidupan. Tak peduli kadang-kadang serangan dari induk ayam lain, menghampiri. 

Hidup mati adalah urusan Tuhan. Kita tahu perkara ini. Jadi, jika hanya karena tubuh ringkih dan segala macam, sehingga menye-menye takut menjalani pekerjaan berat, sama halnya meremehkan Tuhan dimana segala hal menjadi mungkin jika kita yakin bahwa atas kuasa-Nya apa pun itu bakal dimudahkan.

Barangkali terlau rumit pemikiran [anak-anak] yang menganggap dirinya berkelas, sehingga mereka terus berpikir keras dan mati-matian supaya tidak terjun, melakukan tindakan yang menurutnya hal itu sama saja menjatuhkan harga diri. Semisal, lebih baik menjadi benalu menengadahkan tangan pada orangtua dari pada memutuskan bekerja yang ditengarai sebagai pahlawan devisa.

Bagi sebagian orang, menjadi pahlawan devisa adalah hal yang bisa dibilang rendah. Mengabdikan diri pada orang lain dan rela diperintah-perintah. Aku pikir ada yang lebih penting dari pada perkara gengsi itu tadi. Semisal betapa lebih rendahnya mereka yang dengan dalih apa pun, hanya mencari alasan-alasan supaya tetap berada pada titik yang menurutnya tidak menjadikan harga dirinya jatuh.

Boleh jadi kamu cantik seperti berbie. Tetapi bedebah sekali jika bulu matamu yang lentik karena sentuhan mascara, bibirmu yang merah merekah oleh gincu yang tidak murah harganya, pipimu merona karena sapuan blush on di atasnya, dan di balik itu semua ada orangtua yang kamu peras supaya penampilanmu tidak kalah dengan teman sebaya. Cihhh! Doraka lu!

Sampai kapan menunggu pekerjaan yang sesuai dan layak? Bukankah kehidupan ini kadang-kadang tengik. Dunia ini bukan pabrik menciptakan keinginan-keinginan. Kita lebih sering dihadapkan pada hal yang tidak ada pilihannya. Maka lakukan saja apa yang ada di depan mata. Sebab, bekerja bukan hanya demi memenuhi kebutuhan diri sendiri. Sebab, harga diri yang dianggap tinggi, sudah jatuh saat kita memilih menjadi pengangguran.

Hei! Ketika meminum kopi, tidak peduli bagaimana bentuk dari cangkirnya, bukan? Yang penting bersih. Yang penting bisa menampung campuran air, gula, bubuk kopi, dan susu. Lantas dari cangkir tersebut, kita bisa menyeruput kopi lezat tanpa peduli urusan di luar itu. Toh yang dinikmati kopinya, bukan cangkirnya.

Mana yang lebih rendah, mempertahankan diri sebagai lulusan sarjana tapi menganggur karena tidak sudi bekerja jika pekerjaan tak sesuai yang diharapkan, atau terjun menjadi pahlawan devisa dengan imbalan mencapai lebih kurang Rp 8.500.000 perbulan, bahkan lebih. 

Menyadari bahwa cita-cita besar tidak serta merta terwujud begitu saja seperti adegan sulap, maka tidak ada salahnya sebelum berwira usaha dan menjadi bos besar, kita mengumpulkan pundi-pundi uang dengan jalan paling dekat, lebih manusiawi dari pada sekadar menjadi benalu menyusahkan orangtua sendiri. 

Rasa takut sebelum melangkah, keraguan-keraguan, atau apalah itu namanya, hanya akan menghambat perubahan. Sama halnya ketika mati lampu, jika saja kita tetap diam di tempat, tidak berusaha mencari dimana pemantik api, senter, atau sumber cahaya lain yang bisa dijadikan penerangan, selama itu pula kita berada dalam kegelapan. 

Barangkali, saat bergerak di dalam gelap, satu, dua, tiga, kali, atau bahkan lebih, besar kemungkinan kita menabrak pada benda yang keberadaanya tidak nampak. Tetapi dari sanalah, dengan meraba, mencari sesuatu yang kita butuhkan. dan dengan keyakinan yang kuat, maka pemantik api atau apa pun yang sedang dicari tadi, pasti berhasil ditemukan. 

Lagi pula, banyak hal yang bisa dilakukan saat memutuskan menjadi pahlawan devisa. Memanfaatkan minimnya kesempatan, menjadi seuatu yang membanggakan. Bisa jadi statusnya hanya 'tenaga kerja istimewa', tetapi jangan salah, banyak lembaga yang menyediakan sarana demi menunjang kemajuan dan meningkatkan skill. Semisal, nyambi kuliah. Atau kursus menulis dan membaca huruf mandarin. Kursus kewirsusahaan. Atau belajar apa saja yang jelas, kelak ketika kembali ke tanah air, yang didapatkan bukan sekadar materi. Melainkan gelar sarjana dengan skill yang mendukung untuk berwira usaha. 

Wanita tidak dituntut mencari nafkah, memang. Wanita bukan pemimpin rumah tangga. Tetapi, kemajuan dan kesejahteraan keluarga, berada pada ibu rumah tangga cerdas, tidak menye-menye, tangguh, dan dapat diandalkan dalam semua hal. MERDEKA.

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting