Sabtu, 19 Desember 2015

SAAT INI MASIH MENJADI TERI, SIAPA TAHU SUATU HARI BERUBAH MENJADI PAUS

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.58

Hal apa yang paling ditunggu-tunggu bagi mereka yang sedang belajar menulis, selain karyanya diterima dan diapresiasi dengan baik oleh pihak-pihak yang berkompeten atas hal tersebut. Upaya yang selama ini dilakukannya tidak sia-sia. Karya tembus media, atau menjadi pemenang salah satu ajang lomba. 

Aku pikir, kemenangan itu sendiri bukan tolak ukur atas kemampuan yang kumiliki. Sadar dengan banyaknya kekurangan, maka dari itu, terus mengasah skill yang jauh dari kata mempuni. Supaya aku mampu bersaing di dunia luas.

Dunia menulis itu kuibaratkan lautan maha luas. Dimana berbagai jenis ikan baik dari ikan kecil-kecil yang keberadaanya tidak banyak diketahui, sampai ikan berukuran super besar yang semua mengenalnya, bersama-sama berenang di satu ekosistem.

Jika penulis dimaknai sebagai ikan, aku ini tentu saja jenis ikan teri atau jika ada yang lebih kecil dari itu, ya barangkali lebih tepat mewakili diriku. 

Sudah tak terhitung berapa kali, kukirimkan karyaku ke berbagai media nasional, sampai sekarang belum ada hasilnya. Nah, loh ... Apa yang mau dibanggakan coba? Patah arang sih, tidak! Tetapi, sungkan ya, kalau heboh memplokamirkan diri sendiri sebagai 'penulis'. 

Penolakan itu baik. Dalam artian, berarti selama ini tidak tinggal diam. Diam-diam mencoba menunjukkan esksistensi. Ya kali harus sadar kalau karyanya belum nyantol di salah satu media nasional, berarti kemampuannya masih di bawah rata-rata. Santai saja sih, sambil terus belajar. 

Pernah membaca kata-kata cadas seperti ini pada sebuah meme: Norak itu seperti ketika kita sedang pingsan. Kita tidak tahu apa yang terjadi waktu kita pingsan. Namun orang-orang sekitar, jelas tahu persis bagaimana keadaan kita waktu itu. Ampyuuun Jenderal*

Merayakan kemenangan sih, sah saja. Tetapi jangan sampai heboh apalagi norak. Mending gunakan waktu luang untuk mengkaji kembali karya yang masih acak adul. Karya yang ketika orang lain membacanya menimbulkan efek merinding. Merinding karena luar biasa jeleknya. Coba dilihat, mereka yang lebih keren, lebih jago, malah rendah diri. Padahal karyanya sudah tampil di berbagai media. Adumalulah*


Mula-mula, menulis itu aku anggap sebagai terapi jiwa. Pikiran dan hati yang saling memanggil untuk memadukan langkah. Menyampaikan perasaan yang tak terungkap lewat lisan. Mengenal, mempelajari hal dasar tentang tata cara ejaan yang disesuaikan. Perlahan mencoba mengaplikasikan teori yang pernah dilahap sebelumnya. Mengeksplor daya tangkap terhadap rangsangan yang kudapat di sekitar. Merangkumnya untuk kuceritakan kembali menjadi sebuah suguhan apik. Laik dinikmati. 

Kalau sekadar menulis, anak SD juga bisa. Kalau hanya bercerita mengenai pengalaman liburan tempo hari anak TK pasti lebih ahli. 

Intinya menulis itu butuh proses yang tentu saja tidak secepat saat memakai bulu mata palsu. 

Lama-lama, menulis itu bukan melulu tentang terapi jiwa. Dimana, karya yang dihasilkan ingin juga sih, dihargai lebih. Terbit dimedia. Menghasilkan uang. Menjadi terkenal dimana-mana. Jujur ini. 

Tetapi ada hal, yang mungkin menjadi semacam penghambat perkembangan belajar menulis. Mungkin, ini hanya kamuflase atau alibi demi menutupi kekuranganku yang belum bisa konsisten dalam bidang ini. 

Yah ... Bagaimana bisa konsisten seperti para senior, sementara di sini, lakon utama yang mesti kujalani ialah bekerja. Merawat lansia yang masa kerjanya 24 jam. Selain itu, ketika libur kuliah sudah usai, tugas-tugas sudah pasti menumpuk, menyedot perhatian. Dimana kenyataannya tenaga dan pikiranku tinggal setengah. 

Kukatakan tenaga dan pikiranku tinggal setengah, karena kalau ingin tahu bagaimana capeknya merawat lansia yang 'super', yang kalau memerintah lebih kejam dari Hitler. Bisa dibayangkan, ketika jam istirahat, mencoba menjamah laptop, melanjutkan menulis, tiba-tiba dipanggil dan harus datang saat itu juga. Sudah mirip seperti jin dari timur tengah. 

Kembali lagi menyadari bahwa saat ini keadaan serba terbatas. Misalnya saja, tulisan ini, yang entah berapa kali aku tinggal, lalu kembali kuhampiri, demi menunaikan kewajiban sebagai pekerja. Maka ya harus profesional. Tidak boleh manja apalagi mengeluh. Sebab, sejak memutuskan untuk terjun mencari uang, aku sadar banyak hakku sebagai manusia 'bebas, hilang.

Manusiawi kan ya, kalau ada teman memenangkan lomba atau karyanya terbit di media, rasanya euhhh gatal. Gatal ingin seperti mereka. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak? 

Terlepas dari itu semua, bersyukur banget tahun ini memenangkan lomba migran ke II yang hadiahnya gede. Kalau ditukar rupiah, sebanding dengan tiket pesawat, liburan ke Jepang, dua orang. Bahkan masih sisa. 

Masih banyak kesempatan meraih apa yang diimpikan. Asal tetap tekun pada jalan yang telah dipilih. Pelan dan pasti, suatu saat bisa berkesempatan menikmati rasanya dipuncak kemenangan dalam arti sesungguhnya. Dan memiliki ciri sendiri pada setiap tulisannya. 

Tetap semangat. Terus berkarya. Aku ingat bahwa semua pohon besar awalnya dari bibit kecil. Tinggal bagaimana upayaku menjadikannya tumbuh dan terus begitu. Tidak akan berhenti hanya karena belum bisa sehebat mereka. 

Demikian nyinyir hari ini. Happy weekend.  :D



12 komentar:

Cerita novita sn on 19 Desember 2015 pukul 12.44 mengatakan...

Super sekali, Key. Chayoooo.... ^_^

Rumah Kopi on 19 Desember 2015 pukul 13.02 mengatakan...

Hehe terima kasih sudah baca coretanku, Novy. ^_^

Semangat!

Tinta Novela on 19 Desember 2015 pukul 13.54 mengatakan...

keren...kalau versiku beda. Karena suka gagal focus, baru nyalakan laptop kerja tugas langsung saja di jejali kerjaan yang nggak ada habisnya. Input datalah, periksa quest, buat laporan keuangan yang setiap hari seperti lembur. Waktu buat nulis hanya tersisa diujung waktu. Ujung waktu disaat benar-benar lelah dan gagal focus. And setelah skripsian dan bisa angkat kaki dari sini, aku hanya ingin menulis. Semangat...

Rumah Kopi on 19 Desember 2015 pukul 16.44 mengatakan...

Huahaaaa semangat selalu, Tinta, semua orang punya masalah ya. Ini sebenarnya pantas nggak sih, dikambing hitamkan. Apa kitanya yang aslinya 'lemot/malas'?

Semoga cepat skripsi. Aku juga. ^_^

Unknown on 19 Desember 2015 pukul 18.47 mengatakan...

Semangat sayang, kamu pasti bisa, belum saatnya aja..


Lebih semangat lagi dan focus

Rumah Kopi on 19 Desember 2015 pukul 19.12 mengatakan...

Yooo ... Terima kasih, Sayang. Terima kasih suport dan persahabatannya. Semoga kelak, bisa mencapai titi tertinggi atas impian kita masing-masing yakkk

Yap! Harus lebih fokus, konsisten, lupakan tentang kekejaman Hitler itu. Hihi

Cemungud 😘

Bang Syaiha on 19 Desember 2015 pukul 22.17 mengatakan...

Nyinyirnya aja ajib. Apalagi kalau serius nih.. Mantap dah!

Rumah Kopi on 19 Desember 2015 pukul 23.46 mengatakan...

Loh, aku maunya memang diajak seriusan, Bang Syaiha. Hehe

Terima kasih sudah membaca, Bang. ^_^

Cerita novita sn on 21 Desember 2015 pukul 20.51 mengatakan...

Jangan2 kamu nggak tau aku ini siapa, ya?

zahratul wahdati on 22 Desember 2015 pukul 06.30 mengatakan...

wah keren lah kak key!! selamat

Rumah Kopi on 22 Desember 2015 pukul 07.56 mengatakan...

Terima kasih, De Ara. De Ara lebih keren! Cernaknya bertebaran di berbagai media. 😘

Rumah Kopi on 22 Desember 2015 pukul 09.17 mengatakan...

Huaaaaaaaaaa ya ampun ampuni aku. Ini Kak Pitak. Eh Kak Vita ding. Kak Vita story. Tadi baru liat profil di G+ haha

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting