Senin, 28 Desember 2015

KAPAN MENIKAH?

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.17 0 komentar


Ada beberapa pertanyaan di bumi ini, yang kalau dijawab dengan pernyataan sejujur-jurnya tetap saja masih menimbulkan keraguan. Barangkali memang 'tindakan nyata' adalah jawaban terampuh demi mematahkan keraguan. 


MENIKAH. Pertanyaan seputar, " Kapan menikah?" merupakan pertanyaan yang paling tidak disukai 'anak-anak' di muka bumi ini. Bagaimana tidak? Adalah mengenai tekanan orangtua untuk segera menikah itu sungguh menyebalkan. Sumpah. Itu menganggu. 

Beda dengan 'kesiapan', tekanan hanya akan melecut kita gegap mencari lawan jenis secara serampangan, asal siap diajak membina rumah tangga secepatnya.

Semua wanita muda pasti menginginkan menikah dengan laki-laki yang telah matang secara emosional dan finansial. Tetapi, bukankah hal itu hanya kerap ditemui dalam cerita romantis sebuah novel. Sementara, di kehidupan nyata sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa laki-laki yang dirasa pantas menjadi pendamping, saat ini masih berjuang demi mempersunting anak orang. Bekerja keras hingga waktunya tiba, kelak memohon restu orangtua.

Jika tergesa-gesa mencari pendamping tanpa mendalami karakter masing-masing, tanpa adanya perasaan 'saling' bagiku hanya akan membuat pusing.


Menikahlah jika kamu yakin bahwa kelak, seterjal apa pun jalan yang mesti dilewati, securam apa pun jurang yang entah apa sebabnya membuatmu sampai di dasarnya, dan semua masalah rumit rumah tangga, serta ketidak nyamanan berbagi segala hal dengan lawan jenis, dapat dilalui dengan baik. Dapat dinikmati. Membuat hidup lebih berarti. 

Aku pikir, jika menunggu sampai 'siap' manusia tidak pernah sampai pada tahapan itu. Sebab, kesiapan itu bersyarat. Sebab, syarat itulah yang membuat segalanya berat. Semisal, aku siap menikah kelak sesudah menjadi sarjana. Aku menikah jika tabunganku sudah banyak. Padahal, itu semua hanya target yang belum tentu bisa dipenuhi. Berarti kesiapan hanya alasan menunda-nunda pernikahan. 



Senin, 21 Desember 2015

DEMI KEMUNAFIKAN YANG TIDAK ADIL DAN TAK BERADAB

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.15 4 komentar
Di dunia ini semua hal bisa terjadi, dan apa yang akan terjadi kita tak akan pernah mengetahui. Marilah kita hadapi. Pasti ada jalan ke luar. Hari ini entah giliran siapa yang akan bahagia? Hari ini, entah 'ATM' hidup mana lagi yang kamu kelabuhi dengan tampang sok alimmu yang bedebah luar biasa.

Hai, Kak. Apa kabar? Semoga kamu baik-baik ya. Tentu saja tidak boleh terjadi apa-apa denganmu. Jujur ini. Setidaknya sampai urusan mengenai tanggung jawabmu selesai. Sebab, ini bukan hanya menyangkut diriku. Sebab, ada segelintir orang yang menunggumu memenuhi janji, beberapa saat lalu kamu ucapkan. 

Oh iya, Kak, boleh aku memberitahukanmu sesuatu, meskipun tentu saja wawasanmu lebih luas dariku. Ya anggap saja, ini semacam mengingatkan. Itu pun jika kamu membaca nyinyiranku di sini. Ah walaupun tidak yakin sih, mengingat pesan yang kusampaikan lewat inbokmu, tak kamu hiraukan. 

Kak, aku pikir uang bukan satu-satunya hal penting di dunia ini. Barangkali, kamu lupa atau pura-pura tidak peduli, atau yakin bahwa orang-orang yang kamu kelabuhi, selamanya tutup mulut, atau kamu memang luar biasa bedebah! 

Kak, hal lain yang lebih penting daripada uang, ialah reputasi. Reputasi baik yang tentu saja butuh waktu seumur hidup membangunnya.

Kak, andai kata kamu tidak punya pekerjaan, tidak punya uang, dengan mengandalkan reputasi baik pada dirimu, pembawaanmu bersahaja, punya keahlian di bidang tertentu, bisa jadi, orang-orag yang mengenalmu tidak ragu mengajakmu bergabung bekerjasama, sehingga kedua belah pihak diuntungkan. Itu sih, contoh sederhana. 

Tetapi, jika kamu mencoreng reputasimu sendiri, dengan berbohong sana-sani, meminjam uang dengan dalih ini itu, sakit parah, laptop rusak, bapak meninggal dunia, dan ketika orang-orang mempertanyakan tanggung jawabmu, kamu membatu laiknya patung pancoran. 

Jadi begini, Kak. Bukannya aku mengancam, atau menakut-nakuti, atau menggurui. Sama sekali bukan. Ini sesuai dengan ilmu yang kupelajari di fakultas manajemen ekonomi, bahwa para pelanggan yang tidak puas terhadap 'barang' yang dibeli, ada banyak kemungkinan yang akan dilakukan mereka. Misalnya, langsung komplain dengan pihak bersangkutan, menggugat, dan ada pula yang menyebarluaskan perihal 'keburukan barang' itu, dari mulut ke mulut. Tentu saja.

Nah, ketika kamu melakukan satu, dua, tiga, empat, atau lebih banyak lagi keburukan, kecurangan, jangan mengira bahwa orang yang kamu rugikan akan diam saja. Jika sudah begitu, siapa yang akan mempercayai dan mau bekerja sama denganmu coba?


Kak, perkenalkan, ini kakek penjual aneka kue basah. Beliau berusia 87 tahun. Berjualan di pinggir jalan, mulai dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Senin sampai Sabtu. Tidak peduli cuaca ekstrim di musim dingin, hingga mencapai suhu 7 derajat celcius. Bagi kita yang terbiasa dengan cuaca tropis, bisa dibayangkan dong, betapa dinginnya suhu 7 derajat itu. Tetapi, Kak, kakek ini tidak sedikit pun nampak murung mendapati keadaan seperti itu. Senyum dan sapaan ramah terhadap orang-orang berlalu lalang tak pernah absen dari bibir keriputnya. Beliau dengan santun menawarkan dagangan. Reputasinya benar-benar baik.

Di usia 87 tahun, sungguh tidak mudah baginya duduk di kursi tanpa sandaran, abai terhadap cuaca dingin, panas, maupun hujan, demi sesuap nasi, Kak. Beliau menjual tenaga. Bukan menjual cerita palsu (sakit parah) demi meraih simpati orang lain. Sumpah! Itu memalukan. Tidakkah Kakak malu? Atau, urat malumu sudah ikut kamu gadaikan!

Kak, orang lain mati-matian bekerja. Mengumpulkan sepeser demi sepeser. Meninggalkan keluarga, bertahan hidup menjalani masa sulit. Lalu dengan naifnya, kamu mengeruk sebagian jerih payah itu, dengan dalih demi pengobatan penyakit karanganmu.

Ayolah, Kak! Kita ini bukan ladang gandum yang bisa dipanen kapan saja! Kita, teman-temanmu yang jika kamu mati, bakalan patungan membelikan kain kafan. Menguburkanmu. Mendoakanmu. 

Kak, aku pernah bertanya, separah apa penyakitmu? Lalu kamu berkata: jika aku mengenal sosok Hazel Grace dalam The Fault In Our Stars, seperti itulah gambaran kondisi fisikmu. 

Hazel Graze bisa pergi ke Amsterdam meskipun kondisi fisiknya sangat buruk. Paru-parunya, entah kapan berhenti bekerja, tetapi dia tetap nekad ke sana demi menemui penulis buku KEMALANGAN LUAR BIASA itu. Dan Hazel baik-baik saja setelah melakukan perjalanan jauh. 

Hei! Itu cuma fiksi. Dalam kisah nyata, belum pernah menemukan sosok seperti Hazel, gadis umur 16 tahun itu yang meskipun sekarat, tetap santai menjalani hidup. Dan kamu! Ya, ampun! Kamu tidak sakit separah itu kan? Tidak perlu ongkos buat pergi ke Palembang demi pengobatan alternatif, kan? Buktinya, sampai sekarang kamu belum mati. Eh, maksudku, tidak nampak terlihat seperti seorang dengan kanker bersarang di paru-parumu.

Waktu itu, aku pikir, aku telah melakukan perkara mulia. Membebaskanmu dari tanggungan jutaan rupiah. Aku sempat bangga. Yah ... Setidaknya, sebelum kamu mati, aku pernah berbuat baik. Eh! Ternyata itu hanya omong kosong. Bedebah. Kamu memanfaatkan kenaifanku demi menguntungkan dirimu sendiri.

Mula-mula, aku relakan saja uang itu. Toh jumlahnya tak melebihi gajiku satu bulan. Tetapi, Kak, ada hal yang membuatku terusik untuk mengungkit perkara silam. Ketika Bapakku terkapar di ruang ICU, Rs Dr. Saiful Anwar, Malang, yang biaya kamarnya sebesar Rp 1 juta/hari, belum biaya menebus resep, dan lain sebagainya, sewaktu aku pontang panting kebingungan mencari uang demi membantu meringankan beban Ibu, saat itu aku teringat kamu yang bedebah. Yang pura-pura sekarat dan aku dengan lugunya begitu mudah melepas uang demi kemunafikan yang tidak adil dan tidak beradab. Begitu aku butuh uang, malah kesulitan mendapatkan. Sakit sekali hatiku, Kak. Ironis ya hidup ini!

Kak, Desember segera berlalu, jika kamu tidak menunjukkan etikad baik, maka jangan salahkan aku dan mungkin teman lain, mengambil tindakan yang bahkan bisa membuatmu terkucil seumur hidup! 

Sabtu, 19 Desember 2015

SAAT INI MASIH MENJADI TERI, SIAPA TAHU SUATU HARI BERUBAH MENJADI PAUS

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.58 12 komentar

Hal apa yang paling ditunggu-tunggu bagi mereka yang sedang belajar menulis, selain karyanya diterima dan diapresiasi dengan baik oleh pihak-pihak yang berkompeten atas hal tersebut. Upaya yang selama ini dilakukannya tidak sia-sia. Karya tembus media, atau menjadi pemenang salah satu ajang lomba. 

Aku pikir, kemenangan itu sendiri bukan tolak ukur atas kemampuan yang kumiliki. Sadar dengan banyaknya kekurangan, maka dari itu, terus mengasah skill yang jauh dari kata mempuni. Supaya aku mampu bersaing di dunia luas.

Dunia menulis itu kuibaratkan lautan maha luas. Dimana berbagai jenis ikan baik dari ikan kecil-kecil yang keberadaanya tidak banyak diketahui, sampai ikan berukuran super besar yang semua mengenalnya, bersama-sama berenang di satu ekosistem.

Jika penulis dimaknai sebagai ikan, aku ini tentu saja jenis ikan teri atau jika ada yang lebih kecil dari itu, ya barangkali lebih tepat mewakili diriku. 

Sudah tak terhitung berapa kali, kukirimkan karyaku ke berbagai media nasional, sampai sekarang belum ada hasilnya. Nah, loh ... Apa yang mau dibanggakan coba? Patah arang sih, tidak! Tetapi, sungkan ya, kalau heboh memplokamirkan diri sendiri sebagai 'penulis'. 

Penolakan itu baik. Dalam artian, berarti selama ini tidak tinggal diam. Diam-diam mencoba menunjukkan esksistensi. Ya kali harus sadar kalau karyanya belum nyantol di salah satu media nasional, berarti kemampuannya masih di bawah rata-rata. Santai saja sih, sambil terus belajar. 

Pernah membaca kata-kata cadas seperti ini pada sebuah meme: Norak itu seperti ketika kita sedang pingsan. Kita tidak tahu apa yang terjadi waktu kita pingsan. Namun orang-orang sekitar, jelas tahu persis bagaimana keadaan kita waktu itu. Ampyuuun Jenderal*

Merayakan kemenangan sih, sah saja. Tetapi jangan sampai heboh apalagi norak. Mending gunakan waktu luang untuk mengkaji kembali karya yang masih acak adul. Karya yang ketika orang lain membacanya menimbulkan efek merinding. Merinding karena luar biasa jeleknya. Coba dilihat, mereka yang lebih keren, lebih jago, malah rendah diri. Padahal karyanya sudah tampil di berbagai media. Adumalulah*


Mula-mula, menulis itu aku anggap sebagai terapi jiwa. Pikiran dan hati yang saling memanggil untuk memadukan langkah. Menyampaikan perasaan yang tak terungkap lewat lisan. Mengenal, mempelajari hal dasar tentang tata cara ejaan yang disesuaikan. Perlahan mencoba mengaplikasikan teori yang pernah dilahap sebelumnya. Mengeksplor daya tangkap terhadap rangsangan yang kudapat di sekitar. Merangkumnya untuk kuceritakan kembali menjadi sebuah suguhan apik. Laik dinikmati. 

Kalau sekadar menulis, anak SD juga bisa. Kalau hanya bercerita mengenai pengalaman liburan tempo hari anak TK pasti lebih ahli. 

Intinya menulis itu butuh proses yang tentu saja tidak secepat saat memakai bulu mata palsu. 

Lama-lama, menulis itu bukan melulu tentang terapi jiwa. Dimana, karya yang dihasilkan ingin juga sih, dihargai lebih. Terbit dimedia. Menghasilkan uang. Menjadi terkenal dimana-mana. Jujur ini. 

Tetapi ada hal, yang mungkin menjadi semacam penghambat perkembangan belajar menulis. Mungkin, ini hanya kamuflase atau alibi demi menutupi kekuranganku yang belum bisa konsisten dalam bidang ini. 

Yah ... Bagaimana bisa konsisten seperti para senior, sementara di sini, lakon utama yang mesti kujalani ialah bekerja. Merawat lansia yang masa kerjanya 24 jam. Selain itu, ketika libur kuliah sudah usai, tugas-tugas sudah pasti menumpuk, menyedot perhatian. Dimana kenyataannya tenaga dan pikiranku tinggal setengah. 

Kukatakan tenaga dan pikiranku tinggal setengah, karena kalau ingin tahu bagaimana capeknya merawat lansia yang 'super', yang kalau memerintah lebih kejam dari Hitler. Bisa dibayangkan, ketika jam istirahat, mencoba menjamah laptop, melanjutkan menulis, tiba-tiba dipanggil dan harus datang saat itu juga. Sudah mirip seperti jin dari timur tengah. 

Kembali lagi menyadari bahwa saat ini keadaan serba terbatas. Misalnya saja, tulisan ini, yang entah berapa kali aku tinggal, lalu kembali kuhampiri, demi menunaikan kewajiban sebagai pekerja. Maka ya harus profesional. Tidak boleh manja apalagi mengeluh. Sebab, sejak memutuskan untuk terjun mencari uang, aku sadar banyak hakku sebagai manusia 'bebas, hilang.

Manusiawi kan ya, kalau ada teman memenangkan lomba atau karyanya terbit di media, rasanya euhhh gatal. Gatal ingin seperti mereka. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak? 

Terlepas dari itu semua, bersyukur banget tahun ini memenangkan lomba migran ke II yang hadiahnya gede. Kalau ditukar rupiah, sebanding dengan tiket pesawat, liburan ke Jepang, dua orang. Bahkan masih sisa. 

Masih banyak kesempatan meraih apa yang diimpikan. Asal tetap tekun pada jalan yang telah dipilih. Pelan dan pasti, suatu saat bisa berkesempatan menikmati rasanya dipuncak kemenangan dalam arti sesungguhnya. Dan memiliki ciri sendiri pada setiap tulisannya. 

Tetap semangat. Terus berkarya. Aku ingat bahwa semua pohon besar awalnya dari bibit kecil. Tinggal bagaimana upayaku menjadikannya tumbuh dan terus begitu. Tidak akan berhenti hanya karena belum bisa sehebat mereka. 

Demikian nyinyir hari ini. Happy weekend.  :D



Kamis, 17 Desember 2015

DENDELION DAN MASA LALU YANG TERBANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.41 4 komentar
                     [wallpaper.com]

Pada akhirnya semua akan lepas seperti halnya dendelion. Terbang bersama angin dingin bulan Desember. Lenyap meninggalkan pangkal dan tangkai yang suatu hari, juga akan musnah dipamah masa. Betapa pun hal itu tidak diinginkan sama sekali, namun siapa, siapa yang mampu melawan kehendak semesta? 

Aku kira, manusia memang tidak bisa benar-benar menghapus masa lalunya. Sebab, seperti halnya tangan, mata, jantung, serta seluruh anggota tubuh, masa lalu merupakan satu dari bagian itu. Ketika aku, dan segelintir manusia lainnya berusaha membabat habis masa lalu, itu sama halnya sedang melakukan pekerjaan menghilangkan anggota tubuh. 

Aku pernah berharap, bisa meniup masa lalu terbang jauh selaiknya serbuk dendelion. Tetapi urung kulakukan, sebab aku ingat bahwa dari situ, masa lalu itu, menyisakan tanggung jawab yang mesti aku pikul. Bukan beban. Melainkan semacam penyemangat agar aku tetap mampu menegakkan kepala, terus melangkah meskipun memiliki masa yang tidak enak untuk dikenang. 
 
Aku pernah bertanya, kemana perginya serbuk dendelion itu? Apa mereka lebih bahagia dari pada menempel pada pangkalnya? Barangkali, pertanyaan ini serupa dengan, apakah ketika lepas dari masa lalu, aku bisa mendapatkan kembali kebahagian.

Barangkali, karena terlalu fokus akan kejadian menyesakkan, aku lupa akan adanya pendar cahaya harapan. Harapan akan janji semesta atas kehidupan lebih baik dari sebelumnya.

Jika dendelion saja tidak pernah khawatir akan nasibnya, kenapa aku takut akan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi. 

Menyimpan pikiran buruk lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang bisa melukai. Pikiran buruk hanya akan meracuni lantas memunculkan ketakutan-ketakutan menyebalkan. Selaiknya serbuk dendelion yang terbang ditiup angin dingin bulan Desember, seringan itu pula harusnya aku melangkah menyambut janji semesta.

Aku pikir, masa lalu memang tidak perlu dimusnahkan, hanya perlu dipenjarakan dalam kotak kenangan, sesekali diambil bagian baiknya, dijadikan cambuk demi melecut diri sendiri supaya tak pernah takut, langkah tak pernah surut. 

Rabu, 16 Desember 2015

TAK KENAL MAKA TAK DIPEGANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.56 0 komentar

Barangkali, di Indonesia belum banyak penampakan mesin seperti ini. Hallo ini bukan mesin waktu seperti kepunyaan Doraemon yang paling diburu oleh para pejuang LDR--jika memiliki mesin seperti itu, mereka bisa leluasa pergi ke tempat dimana pasangannya berada. Tanpa ribet visa, paspor, ongkos, dan lain sebagainya. Haha

Oh iya! Ini bukan automatic teller machine yang biasa dipakai menarik uang tersebut loh. 

Itu merupakan penampakan self service kiosk. Penjelasan gampangnya, mesin tersebut mengambil alih fungsi 'administrasi' yang biasanya melayani pembayaran di loket, rumah sakit. 

Kalau di Indonesia, seperti yang aku tahu, ketika habis periksa dokter di rumah sakit, pasien mendapat resep, dan tentu saja wajib membayar administrasi atas jasa dokter tadi. 

Nah, mesin ini berfungsi ganda. Lebih efisien. Seperti namanya self service kiosk jadi pasien bisa membayar biaya periksa sekaligus menebus obat secara mandiri menggunakan mesin ini. Setelah itu, pasien tinggal menuju ke bagian apoteker untuk mengambil obat dengan menyerahkan kartu askes, serta tanda pelunasan pembayaran.


Di rumah sakit elit, Taiwan, yang jumlah pengunjungnya (baca: pasien) kurang lebih 2000 orang perhari, kebayang dong antrian panjang di setiap loket administrasi. Hal itu menjadi pemandangan yang biasa. 

Demi mengurangi antrian panjang, pihak rumah sakit menyediakan self service kiosk. Bagi mereka yang rela berdiri lama di antara pasien rumah sakit lainnya, bisa menggunakan jasa administrasi manusia. 

Tetapi sayangnya, mesin tersebut kurang diminati. Mungki saja para pasien tidak mengenali apa fungsi mesin tersebut. Sehingga, jarang dipegang. Dalam artian, hanya segelintir saja yang memanfaatkan mesin itu. Padahal, penggunaanya lumayan praktis. 

Di monitor memang hanya terdapat tulisan mandarin tentang tata cara penggunaannya. Tetapi di sebelah monitor terdapat petunjuk berupa gambar, mengenai langkah-langkah menggunakan self service kiosk. Dan yang paling praktis, mesin tersebut tidak mewajibkan kita menggunakan uang pas.    Katakanlah, biaya berobat sebesar $ 560 NT, nah apabila kita memasukkan uang $1000 NT, dalam beberapa detik, kembalian akan keluar bersama selesainya pengoperasian mesin. 

Berharap banget, kelak di Indonesia tersedia mesin seperti ini supaya tidak perlu antri lama. Tahu sendiri kan kalau masyarakat kita kurang membudayakan antri. Jadi, mereka bisa memanfaatkan mesin tersebut. Eh tetapi, jika penggunanya lebih dari satu orang, tentu saja harus antri. Hihi 

 

Sabtu, 12 Desember 2015

TANPA JUDUL

Diposting oleh Rumah Kopi di 15.45 2 komentar



Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Hanya saja, aku pikir cinta butuh udara sejuk. Cinta butuh penyegaran, bukan? Tidak peduli, sehebat apa pun rasa cinta yang kita punya, namun jika tidak mampu menjaganya baik-baik, semua akan sia-sia. Kita harus merawat pohon cinta yang akarnya telah tertanam kuat, supaya kelak bisa memanen buahnya yang tentu saja amat lezat. 

Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Aku hanya ingin menunjukkan padamu, bahwa aku bisa mandiri tanpa perlu merengek ribut ini-itu seolah mengganggu istirahatmu. Aku tegaskan bahwa aku bisa menepati apa yang telah kuucapkan, tetapi untuk emosiku yang sering timbul tenggelam, maaf aku belum pandai mengatasinya. 

Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Aku pikir, diam adalah sebaik-baiknya menghargai diri sendiri. Barangkali terlalu banyak omongan yang tidak berkulaitas, dan kamu tentu tahu bahwa hal itu tidak baik demi kenyamanan masing-masing. 

Awalnya, aku pikir tidak masalah seberapa pun jarak telah menjadi semacam benteng tinggi, menjulang menghalangi kebersamaan. Bukankah teknologi sudah begitu canggih sehingga hampir setiap saat kita bisa bertukar kabar. Tetapi, tetap saja ada yang kurang tanpa kehadiran masing-masing. 

Aku pikir ada yang lebih penting dari pada membicarakan hubungan ini. Misalnya, bagaimana caranya menjadi orang kaya di usia muda. Bagaimana melunasi tanggungan yang menumpuk. Bukankah itu lebih bermanfaat dari pada berdebat, perihal aku yang selalu menaruh curiga padamu. 

Aku diam. Hanya ingin menyendiri supaya emosiku menguap. Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Kebaikan seperti apa pun tidak akan nampak jika masing-masing dari kita tidak memberi jeda untuk berpikir bahwa hubungan ini bukanlah remeh temeh selaiknya urusan cinta-cintaan semata. 


DUA RATUS ENAM PULUH DAN SENYUM YANG HILANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.34 0 komentar



Pagi di musim dingin, sisa hujan semalam, kopi yang menunggu diseduh, selimut tebal yang ogah-ogahan ditinggal. Begitulah kira-kira aku menyambut hari, Sabtu ini. 

Ada sedikit perasaan sebal, sisa perselisihan remeh temeh tempo hari, yang barangkali merujuk pada sesuatu yaitu, jaga jarak saja dulu. Bagaimana pun juga, segala sesuatu jika terlalu mepet, tanpa jarak kemungkinan besar bisa nabrak. Begitu pula sebuah hubungan. 

Aku dan kamu tidak akan melihat sebuah kebaikan dalam keributan. Tetapi dengan menahan diri untuk tidak terus melepaskan ucapan yang tak enak didengar, perlahan emosi kan memudar. 

Tuhan pasti mempunyai rencana. Dan seperti yang kuketahui, rencana-Nya adalah maha baik. Tidak ada upaya yang sia-sia, hanya saja mungkin waktunya belum tepat. Mengapa aku dipertemukan denganmu? Kenapa kamu yang harus menjadi teman hidupku? Sementara, tabiat kita sama-sama keras. Barangkali, jika ada kesamaan, merujuk pada tanggung jawab kita terhadap kesejahteraan keluarga, begitu besar. 


Pagi di musim dingin, sisa hujan semalam, kopi yang menunggu diseduh, selimut tebal yang ogah-ogahan ditinggal. Hari ini akan menjadi hari sibuk. Pikirku begitu. Pasalnya, selain kedatangan anggota keluarga yang tinggal di Taichung, jadwal pergi ke dokter sudah menjadi wacana jauh hari sebelumnya. 

Untuk masalah jadwal ke dokter, aku hanya menjadi tim pengikut. Maksudku, aku sendiri tidak pernah tahu persis kapan musti periksa ke Dr. Whu, atau Dokter He, atau Dr. Liu Chang Pang, atau ke dokter yang satunya lagi. Entah lupa siapa namanya. Jika semua nama dokter kumasukkan dalam ingatan, takut kalau memoriku kelebihan muatan. Dan akhirnya ingatanku perlu diroot. 

Aku hanya mengingat sambil lalu. Karena, biasanya juga, pasienku ini mendadak periksa ke salah satu dokter langganannya, semisal ketika sedikit saja kurang enak badan, atau tidak bisa berak selama satu setengah hari, atau tumbuh jerawat di hidung, serta merta ia panik lalu tergopoh pergi ke dokter. 

Jalan basah, serta sisa air yang menempel pada dedaunan dan benda apa saja di luar sana, menengarahi bahwa hujan benar-benar turun dengan lebat. Aku menemaninya periksa ke Dr. Whu. Dokter langganan yang menangani masalah insomnia-nya. 

Oh iya, bicara tentang insomnia, ada banyak penyebabnya. Tentu saja. Salah satunya ialah, terlalu banyak tidur siang. Hal itu menjadi salah satu dalang dibalik mata yang terus mengajak bergadang. Dia selalu mengeluh tidak bisa tidur malam. Bingung kesana kemari mencari dokter. Tanpa menyadari bahwa penyebabnya ialah kebiasaan tidurnya di siang hari itu, kebanyakan. 

Kembali kuceritakan, bahwa hari ini pukul 08:50, taxi yang sudah dipesan, menunggu dibawah. Sepagian aku sibuk. Sarapan dan kopiku, belum sempat kutandaskan. Sementara dia sudah mengomando untuk segera berangkat. Dan aku tidak bisa membantah. Tentu saja. HP dan buku menjadi barang penting harus kubawa. 

Taxi bergerak meninggalkan apartemen menunu jalan Zhong Shau West.rd. Sengaja aku tidak mengutak-atik HP. Asyik menikmati jalanan basah serta pohon-pohon di pinggir jalan yang seolah lari menjauh dari taxi yang kami tumpangi. Dua pulun menit berlalu. Akhirnya sampai pada tempat praktik dokter itu. 

"Dua ratus enam puluh," begitu sopir taxi itu berujar. Ada semacam gerundelan laiknya koloni lebah yang mendengung mengintari bunga-bunga. Dengungan itu berasal dari nenek dan sopir taxi. Bahkan, sopir taxi itu sempat mengumpat, "Hen loso!" Yang artinya cerewet. Beruntung nenek tidak mendengar. Atau barangkali perang dunia ke 17 meledak pagi ini jika umpatan sopir itu sampai di telinga nenek.

Sesampainya kami menapaki gedung, seorang satpam yang berusai udzur, menginformasikan bahwa praktik dokter sedang libur. 

What! Begitu kira-kira ekspresi nenek.

Bibir tua yang masih nampak segar, langsung mengerucut seperti pantat ayam. Beberapa ungkapan kesal, lepas begitu saja dari sana. 

Entah siapa yang salah? Dokter atau nenek yang lupa bahwa jadwal periksanya adalah tanggal 19, minggu depan. 

Padahal, di kertas pembungkus obat tertera jelas tanggal dan bulan, jadwal periksa yang benar. Namun nenek tidak mau disalahkan. Ia bilang, "Aku mendengar dengan jelas kalau tanggal 12 dokter menyuruhku datang. Seenaknya menggati jadwal tanpa memberitahu lebih dulu. Chi Se (mati saja)"!

Seperti yang kusampaikan tadi, aku tidak pernah tahu kapan dia periksa ke dokter. Misalnya saja, waktu itu seingatku dia harus periksa Selasa pagi, minggu depan. Eh, tiba-tiba-tiba Jumat sore, tanpa memberitahuku lebih dulu, langsung mengajakku berangkat. Padahal aku masih mengerjakan pekerjaan lainnya. Jadi, untuk jadwal periksa, aku lepas tangan saja. Suka-suka dia.

Keluar dari gedung, nenek masih saja gerundel laiknya lebah. Lalu, kami menuju halte. Pulangnya naik bus karena $260 ongkos taxi, terlalu mahal. Dan sia-sia. Dan akhirnya memilih angkutan umum yang ongkosnya tidak lebih dari $15/orang. 

Wajahnya ditekuk. Bibirnya cemberut. Entah apa yang dipikirkannya. Bagi orang kaya, kehilangan uang seperti itu, sangat menyebalkan kali ya? Bisa jadi, kekayaan yang dimiliki saat ini, hasil dari perhitungan luar biasa alias pelit yang menjadi prinsip ekonomi rumah tangga. :D

Barangkali, jika ada yang mau mencontoh seperti dia, hidupnya bakal memilmpah harta, kelak. Sampai-sampai mengabaikan keselamatannya sendiri. Aku pikir begitu. Ongkos naik bus memang murah. Tetapi untuk lansia 85 tahun, berdesakan dengan banyak orang, berbahaya. Jika jatuh, biaya perawatannya bakalan lebih mahal dari ongkos taxi sebesar dua ratus enam puluh. 


Jumat, 11 Desember 2015

MISUNDERSTANDING

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.26 0 komentar


Waktu begitu cepat berlalu. Meninggalkan berbagai cerita di masa itu. Cerita yang bisa jadi paling pelik, paling kejam, paling buruk, paling manis. Semua tersimpan rapi dalam kotak kenangan. Cerita kejam dari sebuah ketidak beruntungan. Cerita buruk atas kegagalan yang suatu hari bisa dijadikan bahan evaluasi. Cerita manis yang semoga saja masih bisa merasainya di tahun-tahun berikutnya.

Tahun 2015 segera berlalu dengan berakhirnya penanggalan di bulan Desember. Cepat sekali. Oh iya. Aku lupa, tahun ini natal ke berapa? 

Kurasa, tidak penting berapa lama aku tinggal di negara ini, yang paling penting, apa saja yang sudah aku dapatkan selama ini. 

Banyak pengalaman telah kurasakan. Pahit, manis, asem, asin. Untuk rasa pedas, aku hanya menemukannya dari sambel terasi kesukaan. Bukan dari pengalaman. Tentu saja. Hihi. 

Dari semua rasa yang sudah kukecap, akhirnya membentuk pribadi yang .... kuat. Kuat dalam beragumen doang. Kuat dalam berdebat. Bukan tanpa alasan sih! Aku tidak ingin merasakan hal-hal buruk yang pernah menemani hariku. Aku hanya ingin memertahankan apa yang sudah aku perjuangkan. -_- 

                     [Natal tahun lalu]

Omong-omong tentang salah paham, hal itu merupakan momok paling mengerikan dibanding sejumlah kesalahan yang pernah dilakukan. Aku pikir, lebih mudah meminta maaf atas sebuah kesalahan 'biasa' dari pada kesalahan yang disebabkan perbedaan pemahaman. 

Yang paling sering menyebabkan salah paham adalah cara komunikasi yang disampaikan lewat tulisan. Menurutku begitu. Sebab, kita masing-masing memiliki argumen atas sebuah kalimat yang tertera pada layar ponsel. Tiap orang memiliki intonasti berbeda saat menyampaikan ucapan lewat tulisan. Ketika aku mengucapkan suatu permohonan, bisa jadi pihak lain mengartikan itu sebagai ancaman. 

Lewat bahasa tulis tentu kita tidak dapat membaca mimik muka lawan bicara. Bisa jadi, saat itu aku tidak sedang marah. Sebaliknya. Aku lagi bercanda. Hanya saja kalimatku lumayan 'sengit' tetapi sialnya, yang bersangkutan tidak mampu menangkap sinyal 'lelucon' atas apa yang aku tulis tadi. Dari sana buncahlah kesalah pahaman tadi. 

"Ayo makan anak-anak"

Dari kalimat ini saja, tanpa adanya (,) di antaranya, bisa timbul berbagai arti:

1. Ajakan memakan anak-anak. (Ih serem)
2. Mengajak anak-anak makan. (Asyik

Nah, itu sebabnya aku lebih suka berbicara langsung lewat telpon dari pada menulis pesan kalau memang keadaanya memungkinkan. Meskipun tidak dapat melihat ekspresi, paling tidak, aku bisa mendengar intonasi dari kalimat yang disampaikan. Bukan mengartikan sendiri atas apa yang tertulis di layar. 










Selasa, 08 Desember 2015

I'M NOT A LITTLE GIRL

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.06 4 komentar
Semalam, setelah sekian kalinya tunduk pada semua aturan, akhirnya aku berani menentukan perihal apa yang ingin kulakukan. Aku tidak mau lagi didekte selayaknya gadis kecil. Bukan bermaksud menentang orangtua. Namun lebih menekankan bahwa kini aku sudah dewasa. Barangkali mereka lupa akan hal itu. 

Ada waktu di mana, keputusan itu musti kuambil tanpa persetujuan orangtua. Terlepas hal tersebut bukanlah merujuk hal-hal negatif. Aku paham, berapa pun usiaku, sedewasa apakah diriku, setatusku tetaplah anak. Anak yang selayaknya patuh pada aturan. 

Tetapi ini hidupku. Aku juga berhak menentukan sendiri tentang apa yang mau atau tidak mau kulakukan. Aku ingin berkembang selayaknya orang dewasa. Melakukan banyak hal sesuai kata hati. Semisal, menunda mengenalkan seseorang yang akan menjadi pedampingku kelak. Aku punya alasan mengapa hal itu kulakukan. 

Saat pikiran sedang jernih, tanpa emosi tentu saja, tiba-tiba terlintas hal ini, bahwa yang terpenting adalah bagaimana menyelami hati masing-masing, menguatkan rasa yang sudah terjalin, menyamakan atau paling tidak mencari jalan tengah atas prinsip hidup yang kadang tidak seirama. Menurutku itu lebih penting dari pada mengenalkan pada orangtua. 

Semalam ibu bertanya: Kenapa Mamasmu belum juga punya etikad bersulaturahmi dengan Bapak Ibu? 

Lalu aku mencoba memberi pengertian pada ibu. Kusampaikan padanya bahwa ini pilihanku. Maksudku, aku memilih untuk tidak atau menunda mengenalkan pada orangtua. Alasannya sudah jelas. Lagi pula, jika sudah saatnya nanti, aku dan seseorang yang menjadi pendampingku itu, pasti pulang meminta restu. 

Belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa mengenalkan pasangan pada orangtua bukan berarti ikatan di antara kami sudah benar-benar kuat. Yang terpenting adalah, orang yang kupilih itu merupakan orang baik-baik. Dari keluarga baik-baik. Kami saling menyayangi. Itu saja menurutku cukup untuk saat ini. Akan ada waktunya di mana hubungan ini akan kami bawa pada jenjang resmi. 

Rabu, 02 Desember 2015

SPACE

Diposting oleh Rumah Kopi di 07.40 0 komentar
Kenapa aku menceritakan sesuatu yang selama ini kututupi? Bukankah itu memalukan? Tentu saja aku kuat. Lebih dari yang orang bayangkan. 

Suatu hari aku ingin menangis. Hanya itu saja. Tanpa bermaksud meminta belas kasih. Ini hidupku. Aku mempunyai tanggung jawab atas kehidupan keluarga. Sementara, tentang masa depan serta kebahagianku, kutitipkan padamu. 

Aku tidak ingin apa-apa. Aku tidak mau berpikir tentang banyak hal. Sementara, aku menukar hidup dengan $21.000 NT. Barangkali itu nilai setimpal. Jadi tidak ada yang perlu diratapi terlalu dalam. Toh semua hanya sementara. -_-


 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting