Selasa, 22 September 2015

SOUFFLE

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.36 0 komentar
Dalam Novel Wallking After You diceritakan, bahwa ketika perasaan lagi badmood sesendok souffle cokelat mampu mengubah hari menjadi lebih baik. Aku pernah mencobanya. Kapan hari itu. Bukan hanya sesendok, bahkan satu bagian utuh, potongan souffle cokelat ditambah dua cup muffin kacang merah. Suapan demi suapan itu, kunikmati sembari duduk di tengah pasar malam. Dari pendar cahaya lampu, aku memperhatikan wajah-wajah yang berlalu lalang di depanku. Ada yang berjalan tergesa-gesa, ada wajah yang nampak lelah, wajah datar, ada yang tertawa-tawa dengan HP yang menempel di bagian kanan telinganya. Banyak ekspresi. Banyak sekali. Dan sialnya, perasaanku tidak kunjung membaik setelah makanan manis tersebut masuk dalam perutku. 

Dari situ aku menyadari, setiap orang memiliki cara berbeda untuk meng-handle perasaan sendiri. Mengambalikan mood yang buruk tadi. Iya. Seperti itu. Kemudian, aku beranjak pulang. Meninggalkan pasar malam di sebelah kanan, Rumah Sakit Mackay. 

Oh iya, aku punya kebiasaan ini saat sedang badmood. Mandi dengan air panas sambil merendam kaki, perlahan suhu panas menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Sesaat kemudian, ada perasaan membuncah. Hangatnya air, menyelamatkan hariku yang buruk. 

Tetapi, ada kalanya ketika badmood melanda, apa pun tidak mampu mengembalikan keadaan perasaanku kecuali uang. Aku butuh uang dalam jumlah banyak. Kurasa semua juga begitu. Hidup tidak selalu berjalan linier. Apa yang kurencankan, hanya sebatas ilusi. Kenyataannya, banyak hambatan untuk meraih semua cita-cita. Salah satunya, ketika ingat bahwa bulan depan tanggal 4 harus membayar uang kuliah, padahal seluruh gajiku sudah terperinci untuk kebutuhan ini itu. 

Semoga ada jalan. Pasti ada jalan.

Kamis, 03 September 2015

Tuhan, Maaf Aku Mengeluh Lagi

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.14 2 komentar
Baru kali ini, aku benar-benar berada di jalan buntu. Ingin rasanya melemparinya dengan benda apa saja yang ada di dekatku. Tetapi untuk apa? Menumpahkan kekesalan, meskipun hal itu kamu yang menyebabkan semua, kurasa itu bukan sikap orang dewasa. Mau melempar apa tadi?

Sebenarnya aku paham ini. Tentang keinginanmu mencari kehidupan lebih baik. Tetapi sayangnya, kamu mempertaruhkan segalanya pada hal yang masih belum tahu latar belakang baik buruknya. Iming-iming kilauan keindahan itu begitu dahsyatnya memelintir otak, sehingga kamu kalis bersama mimpi-mimpi. Barangkali kamu lupa atau tidak sempat memperhitungkan atau tidak mau tahu, seberapa curam jurang-jurang di bawah sana.

Ah! Aku pikir bukan waktu yang tepat meratapi keterpurukan ini. Namun apa, apa yang bisa diupayakan untuk keluar dari lumpur hidup ini. Kukatakan pada kalian, ini adalah lumpur hidup. Jika banyak bergerak, aku bisa mati tenggelam. Akan tetapi jika diam saja, juga mati pelan-pelan. 

Tuhan, maaf aku mengeluh lagi. Aku benar-benar tidak tahu mesti melakukan apa? 

Kadang-kadang aku berpikir, haruskah aku berbuat sejauh ini? Bukankah aku belum mempunyai kewajiban untuk melakukan hal ini. Tetapi hati kecilku tidak bisa tinggal diam jika mengetahui, orang terdekatku menderita seperti itu. Aku tidak keberatan menjadi tumpuhan terakhirmu setiap kali masalah besar jatuh membebani. Tapi aku hanya tulang rusuk, yang kekuatannya tidak seperti tulang pada punggung. Aku terbatas. 

Barangkali kamu lupa, kita adalah entitas organik yang berperan sebagai roda penggerak, penopang kehidupan. Atas nama kebahagiaan dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, kita berdua larut sebagi tumbal. Dan segala yang kita lakukan mesti diperhitungkan dengan sebaiknya-baiknya. Merumuskan, tentang langkah apa yang harus ditempuh jika kenyataan kita kalah dalam perjudian. Tetapi kamu lupa akan hal itu. Aku pun tidak sanggup mematahkan keinginanmu.

Semua hal datang begitu cepat. Berbondong-bondong seperti pawai kemerdekaan. Aku sampai kepayahan dan tidak sempat menyeka keringat yang bukan lagi menetes, namun mengucur layaknya curah hujan bulan desember. Lagi pula, kedatangan berbagai hal itu, tidak sesederhana peristiwa lakon biasa. Semua butuh ditebus dengan nominal yang entah berapa besar jumlahnya. 

Tuhan, maaf aku mengeluh lagi. Meskipun ini tidak pantas. Engkau di sana, pasti sedang tersenyum kan, Tuhan? Karena Engkau tahu sejak awal akan adanya hal ini. Kuharap, Engkau tidak muak oleh doaku yang hanya itu-itu saja. Tuhan yang baik, ini hanya lakon sementara, bukan? Aku tahu di atas kuasa-Mu, aku akan baik-baik saja.

Selasa, 01 September 2015

Parade Luka

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.50 0 komentar
"Aku kecewa sama kamu!" gertakku mengawali keributan.

"Ah, kamu selalu saja seperti itu. Kecewa padaku."

Setelah itu, perang mulut tidak lagi dapat dihindari. Ucapan yang menyakitkan, terlontar begitu saja seperti peluru yang berdesing-desing lepas dari sarangnya. Menghujam tepat pada bagian yang paling mematikan. 

Aku tidak menginginkan pertengkaran ini.  Aku tidak sedang mencari masalah, karena tanpa kucari pun berbagai masalah muncul satu persatu bagai cendawan. Menyebalkan.

Barangkali, aku lupa bagaimana caranya bertutur yang halus. Tetapi siapa, siapa yang bisa mengingat tatakrama ketika terbakar emosi. Mungkin ini karena aku terlalu membiarkan hati mengendalikan  segalanya. Sehingga aku hilang akal. 

Dari pertengkaran itu, aku menyesali atas ucapan kasar yang satu dua kali, lepas begitu saja. Aku menyakitimu. Kita berdua terluka. 

Aku benci pertengkaran. Menangis membuatku sesak napas. Menangis membuatku lemas dan juga sakit kepala yang tak kunjung hilang. 

Sisa pertengkaran semalam, jelas sekali nampak pada kedua kelopak mataku yang bengkak. Mungkin hal ini biasa. Iya, wanita dan airmatanya memang hal yang biasa. Tapi apakah kamu tahu, ketika jatuh air mataku, saat itu pula hatiku sedang tidak dalam keadaan baik.

"Kamu selalu saja berlebihan!" bentakmu tak terima.

Mungkin aku berlebihan. Tetapi wanita mana yang rela pasangannya, berakrab-akraban dengan 'teman' yang notabene lawan jenis. Barangkali di dunia ini terlalu banyak peraturan sehingga mudah sekali dilupakan. Tentang bagaimana menjaga silaturahmi antar sesama, bukankah itu ada etikanya?

Ketika berkomitmen, pelan-pelan hilangkan kebiasaan kontak fisik dengan lawan jenis. Aku tidak membatasi, tetapi batasilah dirimu sendiri sehingga masing dari kita tidak ada yang kecewa atas sikap dan perilaku beramah tamah itu. 

Hubungan ini, adalah satu-satunya tempat paling aman. Ketika berbagai macam persoalan hidup menghampiri seperti tukang penagih hutang yang berlagak galak dan mengerikan, hubungan ini yang di dalamnya ada kamunya, kujadikan tempat bersembunyi dari kelelahanku menghadapi kerasnya dunia. Hubungan ini segalanya. Aku tidak mau dan tidak mengizinkan siapa saja mengotori rumahku. Tidak juga kamu dan aku. 

Luka-luka yang menganak pinak, seperti parade pawai Agustusan itu, biarkan saja terjadi. Aku butuh waktu untuk menyembuhkannya. Biarkan aku menggigil di sudut ruangan. Sampai menyadari bahwa bodohnya aku menangisi hal yang tak pantas mengusik ketenangan.



 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting