Rabu, 22 Januari 2014

Tugu Rantai

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.39 0 komentar
Sepintas bangunan itu terlihat biasa saja. Monumen peletakan batu pertama yang berbentuk tugu itu disebut ’Tugu Rantai’. Di samping tugu yang memiliki tinggi 10 meter itu, terdapat sebuh rantai yang melingkar -- ditopang oleh ke5 besi cor setinggi 50 senti. Warga di sekitar Desa Bendogerit, Kabupaten Blitar meyakini mitos turun temurun dari pendahulunya. Konon jika rantai itu putus, dapat ditebak beberapa hari kemudian akan terjadi malapetaka di sekitar jalan yang menuju simpang tiga1 tersebut. Di mana tugu itu berdiri kokoh.


Jam 02.00 dini hari saat semua orang terlelap, seperti biasa Mang Ncus mengayuh sepeda tuanya membawa sekarung nanas dagangannya menuju lapak buah di Pasar Legi. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalanan leleki berbadan kurus itu. Ketika berada tak jauh dari tugu yang memiliki kekuatan magis tersebut, tiba-tiba ban sepedanya bocor. Terpaksa dia menuntunnya. Suara hewan malam yang bersahutan menambah suasana  malam itu kian mencekam. Sesekali terdengar suara lolongan anjing hutan yang membuat bulu kuduk berdiri.


PYAAAKK! Tepat ketika Mang Ncus melintas di sebelah tugu tersebut. Rantai yang melingkari tugu itu jatuh. Duh, Gusti. Alamat akan terjadi hal buruk di kampung ini. Jerit hatinya. Mang Ncus tak kuasa lari lantaran bawaannya yang berat.

***


”Key, ikut aku kerumah teman yuk!” ajak Mbak Zahra sepupuku.
”Nggak mau ah, takut. Udah jam 21.00 tuh! Lagian di luar sedang gerimis, juga!” ucapku menolak. Mataku tak beranjak dari TV yang sedari tadi aku pelototi.
Mbak Zahra tampak gelisah. Dia mondar-mandir di samping tempat dudukku. Sesekali digaruknya kepala yang berjilbab coklat muda itu. Menggigit bibirnya. Kadang memonyongkannya.


”Ayo lah, Key, ini penting banget. Modemku ketinggalan di rumah Vita, tadi.” Air muka sepupuku terlihat memelas. Sebenarnya aku tak tega melihatnya. Tapi, aku tak mau mengambil resiko keluar malam-malam begini. Apa lagi kabarnya, seseorang mendapati rantai yang mengelilingi tugu angker itu putus beberapa hari yang lalu. Ya. Mang Ncus tetanggaku, menyaksikan sendiri kejadian putusnya rantai itu.


Mbak Zahra terus membujukku. Dengan malas, akhirnya aku beranjak pergi ke kamar. Mengambil jaket. Kemudian siap-siap menerobos dinginnya malam itu.
Bukankah ini malam Jumat. Lirihku. Tentu saja kampung sepi. Biasanya Kamis malam, bapak-bapak mengikuti rutinan tahlilan.


Di bawah rintik hujan, Mbak Zahra membawa motor mio kesayangannya dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba terlintas dibenakku tentang kecelakaan yang terjadi kemarin lusa. Pandu. Pemuda warga kampung Bendogerit, berusia 19 tahun meninggal karena motor ninja yang dikendarainya bertabrakan dengan truck bermuatan tebu. Pemuda itu meninggal di tempat kejadian yang tak jauh dari tugu rantai.


”Mbak, biasanya orang yang meninggal dengan cara mengenaskan, arwahnya masih penasaran dan gentayangan di sekitar kejadian,” ucapku.
”Ngomong apaan sih!” sergah Mbak Zahra tak suka.
”Beneran deh, semalam ada yang ngomong, melihat seorang berpakain putih mondar-mandir. Gelisah. Tepat di tempat kejadian.” Aku terus membicarakan hal yang aku sendiri tak mau mendengarnya.


”Kamu bisa diam nggak, sih, Key? Atau, aku turunin di sini.” Suara Mbak Zahra mulai meninggi. Marah. Mungkin.



Brrttt ... Brrtt ... Brrttt! Tiba-tiba motor yang kami tumpangi melambat. Dari suaranya, motor ini kehabisan bahan bakar. Tapi bukan itu penyebabnya. Seingatku sore tadi Mbak Zahra ke SPBU memenuhi tengki bensin motornya. Kalau begitu ... Ah! Sial! Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan arwah penasaran itu. Batinku.


Gadis berlesung pipit itu meminggirkan motornya. Aku pun turun tanpa diminta. Bak radar, mataku mengawasi sekeliling tempat kami berdiri. Sepi. Tak terlihat rumah penduduk satu pun. Tak jauh dari kami berada, nampak tugu yang menjulang tinggi. Tepat sekali. Itu adalah tugu rantai.


Di bawah sinar rembulan yang temaram, kami mendorong motor itu dan berharap seseorang melintas dan memberi pertolongan. Sayup-sayup terdengar deru mesin motor. Senyumku mengembang. Sebentar lagi bisa melanjutkan perjalanan jika orang yang melintas ini, mau memberi bantuan. Batinku.


”Mbak, tuh ada orang lewat. Minta bantuan sama dia, ya?”
”Husstt! Jangan sembarangan minta tolong orang di jalan!” tolak Mbak Zahra. ”Kalau dia orang jahat gimana? Bukankah kita bisa apes dua kali?” lanjutnya.
”Usaha apa salahnya sih!” mulutku tampak maju mengakhiri kalimatku.
Suara motor itu semakin dekat. Kulambaikan tanganku agar pengendara motor itu tau maksudku. Persis seperti yang aku harapkan, dia mengurangi kecepatannya dan berhenti di tempat kami berdiri.


Hening. Orang itu mematung di atas motor ninja warna hijau tersebut. Wajahnya tak terlihat karena tertutup helm yang dikenakannya. Aku merapat ke arah Mbak Zahra. Kami saling beradu pandang. Kuraih tangan saudara sepupuki itu. Embusan angin yang  bertiup, membuat bulu kuduku berdiri. Bersamaan dengan itu, aroma kembang serta bau kemenyan tiba-tiba menyeruak tajam. Orang itu masih tetap geming. Aku kembali melihat ke arah Mbak Zahra. Kugigit bibirku kuat-kuat. Takut.


Sesaat kemudian, pengendara motor itu menggerakan tangannya ke atas. Melepas helm. Detakan jantungku semakin tak beraturan. Napasku kian memburu. Dan ketika helm itu dilepas kami berdua tercengang. Saat itu juga rasanya jantungku berhenti berdetak. Darahku berdesir melihat makluk tanpa kepala sedang bertengger di atas motor ninja.


Tanpa ba bi bu, Mbak Zahra menyeretku lari meninggalkan tempat itu. Baru beberapa meter berlari, aku jatuh tersungkur. Sendal jepit yang aku kenakan putus. Susah payah aku berdiri, ada kekuatan super yang mencengkeram kaki kiriku. Aku kembali terjatuh sebelum berdiri sempurna. Mbak Zahra menarik tanganku. Makluk tanpa kepala itu menarik kakiku. Aku tak kuasa meronta. Kedua tangan makluk itu mencengkeram kakiku dan menyeretku sekuatnya. Jeritanku kian melemah. Sosok Mbak Zahra pun tak terlihat lagi.


***


Key, bangun. Pindah ke kamar sana. Lamat-lamat aku mendengar suara sepupuku membangunkanku. Sekonyong-konyong aku pun bergegas masuk ke kamar dengan menyeret selimut bermotif winie the pooh.

Aku Memang Manusia Biasa

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.52 0 komentar


Dear My Lalaland ... Apa kabar? Udah beberapa hari ini aku melupakanmu. Maafkan ya! Kesibukanku di dunia nyata menyita waktu sehingga aku lupa mengukir cerita di tubuhmu. Oh, iya, bulan ini banyak event, lo ... Tapi sayangnya aku tak kunjung sembuh dari sakit. Meskipun ringan tetapi flu ini menggangguku. Eng ... Kebanyakan minum obat sampe nge-blank. Otakku terasa ringan sehingga nggak bisa mikir apapun.

Emmm! Kau mau tau cerita hatiku juga ’kan, Lalaland? Mari duduklah mendekat, akan aku ceritakan semuanya. Kau tak perlu berkomentar. Cukup dengarkan dengan baik. Semua cerita ini.



Baiklah, aku akan memulai dari cerita sahabat.


Aku ... Emmmm! Jujur aku bingung. Sebagai sahabat yang notabene seorang manusia biasa, tentu saja aku jauh dari sempurna. Tetapi aku berusaha menutup kekuranganku kemudian menempatkan diri sebagai mana mestinya. Aku siap menjadi tisue untuk menghapus air matamu. Aku juga menjadi tong sampah yang menampung keluh kesah. Dan terkadang aku menjadi mentor bergaya seperti intelek yang tak lelah memberi motivasi agar dirinya sadar dan mampu menghargai diri sendiri.
Sejenak dia tampak terharu dengan ketulusanku. Dan berterima kasih padaku meskipun aku tak mengharapkannya. Tetapi, aneh! Tiba-tiba dia berubah. Sikapnya dingin. Aku jadi serba salah. Ya, tentu saja aku bingung. Kehangatan dan keceriaan itu hilang. Aku mencoba mengklarifikasi agar aku tidak salah paham. Dia hanya membalas seperlunya.
Awalnya aku ngerasa nggak enak. Tapi, ngapain juga aku berpikir seperti itu? Toh! Aku nggak ngerasa menjahati dia. Menyebarkan masalahnya, atau menjadikan masalahnya sebagai bahan ejekanku. Tidak! Sama sekali tak pernh aku lakukan. Maka aku tak ingin membebani pikiranku dengan masalah yang nggak penting.


Kali ini cerita tentang bersosalisasi di dunia maya.


Harus hati-hati. Memilah dan memilih teman. Bagaimanapun kita tak pernah tau latar belakang hidupnya. Sebenarnya sih, nggak penting ya! Tapi, jika sudah menyangkut teman dekat, mau tidak mau kau harus belajar berpikir kritis dan sedikit berburuk sangka untuk berjaga-jaga. Intinya jangan terlalu percaya dan mudah terpedaya.

Oh, iya. Ada yang menggelitik pikiranku. Sesorang berupaya menjadikan dirinya intelek dan berwawasan luas dengan melahap banyak buku. Ternyata kecerdasannya dijadikan modus mengelabuhi cewek. Yang lebih menjijikkan, sampai menciptkan cerita palsu demi menarik simpatik. Jika kau benar-benar memiliki jiwa besar. Penolong, bisa jadi kau mudah masuk dan terjebak dalam permainannya.
Ayolah, teman ... Apa kau lupa akan adanya Tuhan? Jangan terlalu sering mengadukan kepenatan hati dan kegelisahanmu pada orang lain. Mending menghadap dan minta tolong saja pada-Nya.


Aku sempat nggak enak hati kemarin. Tentang isi chatt itu. Seolah aku lebay terlalu lunak dan seperti memberi harapan. Huaaaaaaaaa apa kau tau, saat aku menulis kata demi kata itu, sejujurnya aku muak. Mengerikan sekali jika itu terjadi. Apa iya aku jatuh cinta sama penerjemah satwa itu. Oh, tidak! Tidak! Meskipun aku juga bukan manusia sempurna tetpi orang itu jauh dari apa yang aku harapkan. Moralnya hancur! Lantas, apa lagi yang dibanggakan? Dari awal aku tau siapa dia? Jika aku masih berteman, bukan berarti aku tak menjaga jarak dan bersikap sewajarnya sahabat.
Aku tidak membedakan teman, siapapun dia, tetap berhak menjadi temanku. Manusia samanderajatnya dihadapan Tuhan. Meskipun dia gigolo, aku tidak menjauhinya. Itu ’kan urusan mereka? Yang penting tidak merugikanku, bagiku semua sudah tepat. Tetapi, ketika aku sudah berada pada posisi yang bahaya, maka aku harus bertindak. Menjauh dan jaga jarak.
Chatting itu! Hhmm! Aku hanya ingin memancing keluar apa yang terselinap di hati dan pikirannya? Sesaat aku tau dia ingin memanfaatkanku. Ya, sudah! Aku harus menutup buku tentang dirinya. Aku nggak sebodoh itu mengeluarkan biaya operasi puluhan juta demi pembohong sepertimu. Enyahlah kau ke neraka bersama para hewan itu.

Jangankan cemburu, naksir aja kagak! Ayolah ... Bodoh sekali dirimu? Bahkan aku tak pernah menggubrismu! Kenapa bisa kau berpikiran kayak gitu?

Tutup buku bergambar pandora.



Cerita terakhir tentang diriku.

Aku seorang yang idealis dan perfecsionis. Bukan tentang fisik. Melainkan totalitas mengekplor hati. Selalu ingin memberikan yang terbaik, sehingga akunsering mengabaikan diriku. Aku, mungkin pantas dijuliki lilin. Mampu menerangi sekitar tapi aku sendiri meleleh.
Kau tau? Aku juga manusia biasa. Aku punya air mata, luka, marah, sam seperti yang lainnya. Tetapi, aku tak ingin menunjukkan penderitaanku pada orang lain. Tidak! Aku tak ingin menebarkan aura hitam pada orang yang kusayang. Maka dari itu, aku selalu ceria!

Taukah kau? Aku meringkuk sakit sendirian. Jika sakit kepala dan mual itu sudah datang, aku tak nyaman lagi untuk beraktivitas. Namun begitu, aku masih memaksa diriku menyelesaiakan tugasku.

Aku percaya bahwa tak selamanya aku berada di zona nyaman. Pun aku juga tau kesedihan itu pasti berlalu. Oleh karena itu, aku harus tetap optimis menjalani hidup. Aku tau bagaimana membahagiakan hatiku. Memikirkan hal sederhana pun sudah bisa membuatku bahagia. Bukannya tak butuh orang lain, tapi aku tidak ingin menggantungkan semangat dan kebahagiaanku pada siapapun. Jika ada, mereka adalah pelengkap bukan pemberi kebahagiaan.

***

Taipe 22, Januari, 2014

Selasa, 21 Januari 2014

Jodoh Di Tangan Tuhan. Cinta Harus Diperjuangkan

Diposting oleh Rumah Kopi di 21.21 0 komentar


Namanya Dias. Dia anak tunggal dari Haji Sanusi. Dibesarkan di tengah keluarga serba ada, justru membuat mentalnya sedikit lemah. Hei! Jangan mikir yang tidak-tidak ya?
Semua hal begitu mudah didapatkannya, kecuali cinta dari kaum hawa. Bagaimana dia bisa mendapatkan cinta, untuk berkenalan dengan seorang gadis saja, dia tak pernah punya keberanian. Apakah, hai! Hallo? Sedang apa? Atau, bolehkah aku duduk ? Hal sesederhana itu pun tak mampu dia lakukan. Alih-alih menyapa duluan, didekati cewek saja, keringat dingin langsung merembes dari pori-pori kulitnya yang kuning. Di usianya yang sudah hampir berkepala tiga, tentu orangtuanya selalu mendesak Dias untuk segera menikah.


Berkali-kali orangtuanya berusaha menjodohkan, dan sering kali pula cowok berwajah kalem itu menolak. ”Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Bu. Tapi, jamannya Siti Nurhaliza.” Katanya, sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. ”Kamu itu, paling bisa membantah.” Ibunya sewot dengan penolakan putranya tersebut.
Perdebatan seperti itu sudah tak asing lagi terjadi di tengah keluarga mereka. ”Bilangnya, punya banyak teman cewek. Mana buktinya? Dari dulu kemana-mana selalu sama Yanu.” Ujar ibunya. ”Jangan-jangan kalian ...” Ibu menghentikan kalimatnya. ”Husst! Sudahlah, Bu. Jangan mikir yang nggak-nggak!” sergah Bapak. Laki-laki paruh baya itu mencoba melerai.

"Teman Dias memang banyak, Bu. Noh, dari yang mukanya mirip Agnes Monica, sampai yang ngenes mau cerai juga ada. Tapi, jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan Ibu. Main jodoh-jodohin aja. Kayak anaknya nggak laku ini." Ibunya menghela napas kasar, tak ada senyum yang tersungging di wajah yang terbingkai jilbab itu. Ekspresinya nampak datar.


****


Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, minggu pagi pukul 08.00 WIB, Yanu dan Dias berangkat dari kota Blitar, menuju Bendungan Wonorejo. Karena tempat tersebut berada di pesisir barat kota Tulungagung, butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di sana. Joran, benang, mata kail, umpan, sudah dipersiapkan sebelumnya. Dengan mengendarai motor honda vario, mereka menyusuri jalan propinsi yang menghubungkan kota Blitar—Tulungagung. Jalan raya nampak lengang pagi itu.


Setelah melewati perkebunan teh, dan hutan pinus, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Empat pasang mata pemuda itu, disuguhi pemandangan yang begitu menakjubkan ketika sampa di sana. Hamparan air bendungan yang berwarna biru tenang, adalah hal yang paling mencolok. Seperti manusia primitif yang baru datang ke kota, Yanu tak henti-hentinya mengucap decak kagum atas apa yang dilihatnya. ”Bro, keren banget. Sumpah! Aku baru pertama kali datang ke sini.” Mata sipit Yanu masih sibuk menelanjangi Waduk yang terbesar di kawasan Asia Tenggara itu. ”Kamu sih, mentang-mentang tinggal di kota, mainnya ke tempat-tempat dugem. Apa asyiknya coba?” tanya Dias sembarangan.


”Sesekali nggak apa-apa kali, Bro! Refreshing, anak muda gitu loh! Ntar nih, kalau anak-cucuku tanya, tentang diskotik dan segala hal di dalamnya, aku bisa menjawab.” Balas Yanu tak mau kalah. Seketika itu juga Dias memukul pelan kepala sahabtanya itu.

”Gila, coba lihat! Ada speed boat-nya juga di sana.” Telunjuk Yanu menunjuk ke arah speet boat itu. ”Wooee! Kampungan banget sih, namanya juga tempat wisata. Ya, tentu saja prasarananya lengkap.” Ucap cowok berambut lurus yang selalu disisir ke kanan itu, tegas." Kamu pikir cuma Bali saja yang keren! Tuh, lihat di sebelah sana, ada tempat penginapan. Di sebelah sana itu, ada taman bermain.” Lanjut Dias menjelaskan.


Beberapa saat kemudian, keduanya berjalan beriringan sambil menikmati udara sejuk khas pegunungan yang bebas dari polusi udara. Dari jauh, pohon-pohon terlihat seperti miniatur yang tertata rapi.


”Bro, aku letakkan di sini!” Kata pemuda keturunan tiong hoa itu sambil menaruh kotak berisi peralatan pancing tersebut. ”Wooee! Agak ke samping kanan dikit,” teriak Dias dari kejauhan. ”Lihat, ada genangan air. Nampaknya sisa hujan semalam,” lanjutnya. Sambil memelototi hp-nya, Yanu menuruti ucapan sahabatnya yang berusia tiga tahun di atasnya tersebut.


”Nih, punyamu!” ucap Dias sambil menyodorkan joran lipat dari dalam kotak warna biru. Sejenak keduanya tengah sibuk mempersiapkan peralatan pancingnya. Bebarapa saat kemudian setelah siap, kedua sahabat itu berjalan mendekat ke danau yang permukaannya selalu nampak tenang itu.

“Hati-hati, rumputnya licin.” ujar Dias mengingatkan, sambil melempar mata kailnya ke air. Kemudian di atas rermputan yang basah itu, Dias duduk santai-- diikuti Yanu, sahabatnya.


”Ternyata, yang paling sulit bagi lelaki dewasa yang masih lajang adalah memutuskan tepat tidaknya seseorang yang hadir memberi cinta yang hadir untuk pendamping hidupnya.” ucap Dias memulai percakapan, sambil meloloskan satu batang rokok kemudian menyulut api ke ujungnya.



”Itu artinya kamu menginginkan pendamping yang sempurna. Bukankah tak ada manusia yang sempurna? Kalau kamu terus-terusan ragu, aku yakin, kamu akan menjadi lelaki lajang selamanya.” jawab Yanu dengan tenang. ”Kalau kamu menyia-nyiakan kesempatan kecil, bisa jadi, kamu juga bisa kehilangan kesempatan besar.” Lanjutnya.



”Tapi, bukankah cinta boleh memilih?” tanya Dias akhirnya.




”Iya sih, tapi bukan berarti kamu harus menyia-nyiakan seseorang yang dengan tulus mencintaimu.”


”Tapi ...” Dias menghentikan kalimatnya. Pikirannya melesat pada sesosok cewek yang akhir-akhir ini rajin mendekatinya. ”Ah, aku tak pernah cocok dengannya, bagai barat dan timur.” Cowok yang memiliki lesung pipit itu tersenyum kecut. Dia tak ubahnya seperti prajurit yang menyerah sebelum perang.

”Terus, maunya bagaimana? Mengabaikan? Ingat, yang kamu singgahi itu hati bukan rumah yang seenaknya saja datang dan pergi sesuka hati. ”Ketidak cocokan itu berasal dari mana? Latar belakang, cara pandang tentang kehidupan? Atau gaya hidupnya sehari-hari?” Bagaikan Polisi yang mengintrogasi terdakwa, pertanyaan demi pertanyaan Yanu membombardir sahabatnya yang tengah galau itu.

”Salah satunya itu?” jawab Dias ragu.


”Manusia itu diciptakan dengan segala macam perbedaan, kawan. Dan kecocokan itu akan hadir seiring berjalannya waktu. Pelan-pelan jika kalian mencoba menyesuaikan diri, aku rasa tidak ada lagi kata ketidak cocokan.”

”Hah, entahlah. Aku masih bingung.” Pandangannya tidak beranjak dari arah semula. Sesekali embusan angin menyibakkan rambutnya yang lurus. Tersirat beban di wajahnya. Namun, sebenanrnya masalah itu berasal dari keraguannya sendiri yang selalu bingung menentukan pilihannya.

”Dan yang harus diingat lagi, menikah adalah ladang berkah bagi suami yang dengan sabar memberi pengarahan pada istrinya. Mendampingi wanitanya menjadi istri solehah.” Ekspresi Yanu nampak serius kala itu. Mendengar ucapan sahabatnya, Dias mengerlingkan matanya, dengan mimik muka Nampak sinis. Dia seolah tidak percaya apa yang baru disampaikan sahabtnya tersebut.

”Gayamu, sok gurui! Kerjaannya keluar masuk diskotik juga.” ujar Dias datar.


”Eits! Jangan salah. Ke diskotik, belum tentu aku menyentuh minuman beralkohol, atau menggoda wanita di sana.”

”Lalu?”

”Udah deh, nggak usah bahas diskotik. Yang jelas, kediskotik itu nggak selalu berbuat maksiat. Catet!” tandasnya. ”Ada yang salah dengan persepsi kamu.” Yanu menghentikan kalimatnya, menghela napas untuk mengatur perasaannya saat itu. ”Mungkin kamu berpikir, bahwa gadis yang baik itu, pasti berjilbab.”

”Tentu saja! Tuhan menganjurkan demikian.” Dias memotong ucapan cowok beralis tebal itu.

Yanu geming. Tidak melanjutkan kalimatnya. Dia tahu watak sahabatnya itu. Percumah berdebat soal ini dengannya. Toh, Dias bakalan ngotot mempertahankan pendapatnya.

”Menikah itu untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing. Coba deh, kamu tanya sama hati kecilmu? Kira-kira ada perasaan nyaman tidak saat kalian ngobrol misalnya?” Belum sempat Dias menjawab pertanyaan, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik umpannya. Bersamaan dengan itu, ada panggilan masuk ke hp-nya. Tertulis nama ibunya di layarnya. Konsentrasi Dias terpecah. Dia gugup, akhirnya tangkapannya lepas.

”Assalamualaikum. Iya, Bu. Ada apa?”

”Kamu harus pulang sekarang juga!” perintah ibunya.

”Iya, tapi Ibu bilang dulu. Ada apa? Jangan bikin Dias bingung dong, Bu ...” dia memelankan suaranya. Ibunya tidak lekas menyampaikan sesuatu yang dimaksud. Wanita paruh baya itu mewanti-wanti supaya anak lelakinya segera pulang.

Disampaikannya hal itu pada Yanu sahabtanya. Meskipun belum mendapatkan hasil, terpaksa keduanya pulang. Sepanjang perjalanan  pikiran Dias gelisah tak karuan.

***
Sebuah mobil terparkir di pekarangan rumahnya. Dias bergegas menyelinap masuk dari pintu samping. Ibunya sudah berdiri di depan pintu. Dias segera mencari tahu apa sekiranya yang terjadi. ”Buruan mandi, dan berpakaianlah yang rapi!” ujar ibunya.

”Lagi dan lagi.” Dias seakan mampu membaca pikiran ibunya, kalau perintahnya itu terkait dengan para tamu yang datang. Ya, tentu saja acara perjodohan.

Dias melenggang meninggalkan ibunya. Diambilnya handuk dari kamar, kemudian pergi mandi. Setelah mematut dirinya di depan cermin, cowok berpostur tinggi tersebut terduduk di tepi ranjang. Beberapa detik kemudian dia keluar rumah dari pintu dapur. Kabur. Ya, itulah yang ada di benaknya saat itu. Tetapi, tiba-tiba ucapan Yanu siang tadi, kembali terngiang di telinganya. Jangan kecewakan orangtuamu, jika tidak ingin sial seumur hidup. Oleh karenna itu, Dias mengurungkan niatnya. Langkahnya terhenti. Dilema sedang berkecamuk di benaknya. Tentang janjinya pada seseorang, serta rasa bersalah karena mengecawakan orangtuanya.

Sementara itu, di ruang tamu seorang gadis berparas rupawan duduk di antara dua keluarga besar tersebut. Hijab berwarna biru muda dengan busana warna senada, semakin menambah sempurna penampilannya. Haira namanya. Dia putri Haji Ahsan, sahabat lama Haji Sanusi.


***

Siang itu, kota Blitar diguyur hujan yang turun tanpa jeda sejak pagi. Nampak seorang laki-laki dan perempuan berjalan beriringan di bawah payung menuju rumah keluarga Haji Sanusi. Mereka tak lain adalah Dias dan Mutia. Ibu dan bapaknya terduduk di kursi ruang tamu menunggu keduanya. Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan kedua orangtuanya, Dias sesuai janjinya memperkenalkan gadis pilihannya. Ekspresi Ibu nampak aneh. Dia kecewa. Sungguh. Bagaimana tidak? Perjodohan tempo hari kembali gagal. Kali ini putra semata wayangnya membawa gadis cacat--diperkenalkan sebagai calon istrinya.

" Kamu ini sudah gila, apa?" ucap ibunya gusar. Ditariknya tangan Dias ke ruang tengah, di mana percakapan mereka tidak sampai terdengar sampai di ruang tamu." Ada apa, Bu?"

" Kenapa kamu memilih gadis pincang itu sebagai istrimu, Dias?" sambil bersungut-sungut, ibunya beringsut--bersandar di dinding ber-cat pitih itu."Bu, maaf." Dias terdiam dan menunduk. Air matanya menetes, dan setelah berlutut dihadapan ibunya, kemudia dipeluknya erat kedua kaki wanita paruh baya tersebut.

"Dengarkan penjalasanku dulu, Bu. Dias sudah lama mengenalnya tanpa menjalin hubungan apa-apa. Hanya saja setelah kejadian itu, Dias berjanji suatu hari jika memang Tuhan memperkenannkan, aku akan meminangnya tentu dengan restu Bapak serta Ibu." Katanya, sambil sesenggukan.

"Kajadian apa, Nak?"

"Bu, lima tahun yang lalu, di bawah derasnya hujan, aku mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Pandanganku kabur waktu itu. Dan ..." Dias menghentikan kalimatnya.

"Lanjutkan." Perintah Ibu.

"Dias menabrak seorang kemudian kabur begitu saja." Tubuh Dias gemetaran dan masih dalam posisi memeluk sepasang kaki ibunya, tangisnya pecah tak terbendung menyesali kasalahannya. Wanita berhijab itu geming.
“Kemudian dari tetangganya, aku  mendapat informasi bahwa gadis yang aku tabrak mengalami patah kaki, Bu. Dia itu Mutia, yang sekarang ada di ruang tamu." lanjut Dias.

"Bangkaitlah, Nak." Ibunya menyerukan ucapan itu dengan suara parau. "Apa kamu sudah berterus terang dan minta maaf pada kelurga gadis itu?" tanya ibunya akhirnya, kedua tangannya mencengkeram lengan putranya tersebut. Dias yang masih tertunduk, hanya mengangguk. Kemudian berkata, "Mereka memaafkan Dias dan tidak menuntut apa pun, Bu? Sungguh, mereka keluarga yang sangat baik dan berjiwa besar. Semua ujian berasal dari Tuhan. Itulah yang diucapkan bapaknya Mutia tempo hari."

“Meskipun cacat, Mutia tak berkecil hati untuk melanjutkan hidupnya, Bu. Dia lulus sarjana dengan nilai terbaik. Dan … Mutia gadis yang soleha, maka Ijinkan Dias menikahinya ya.”
“ Menikahlah dengan gadis pilihanmu, Nak. Ibu merestui kalian. Iya kan, Pak?” ujar Ibu ketika mereka berada dalam satu ruangan yang sama.


Selesai.

Top of Form
Bottom of Form

Sabtu, 18 Januari 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.22 0 komentar
Aku lebih suka segala yang tidak berlebihan. Menurutku, lebih baik mendapatkan sedikit tapi berkulitas. Daripada banyak, tapi nggk berguna sama sekali. Apapun itu. Dan ini ada hubungannya dengan yang akan aku ceritakan tentang guruku yang cantik ini.

Percaya 'kan jika hidup itu bukan suatu kebetulan belaka. Nah, mengenal sosoknya bukan suatu kebetulan juga. Wanita dewasa yang cerdas dan keibuan. Ya, tentu saja banyak yang ingin dekat dan mendapatkan tempat di hatinya. Aku bangga bisa mengenal dan menjadi salah satu sahabat sekaligus adik angkat. Aku sih, sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Bukan itu aja, beliau lebih dari sekedar kakak, sahabat, guru, sekaligus ibu bagiku. Wih, peran ganda, triple, atau gimana ya, menyebutnya, yang jelas aku nyaman di dekatnya. Aku belajar banyak hal dari beliau. Namanya Zahra A. Harris. Aku dan teman dari Kobimo, memanggilnya 'Bunda' meskipun beliau masih muda. Bunda Zahra banyak mengajariku menjadi wanita mandiri dan tentu saja baik hati. Susah sih, mempelajari hal itu. Tapi, pelan-pelan pasti aku bisa. Beliau disayang karena menguatkan dan merangkul. Dan aku sangat mengaguminya. Beliau adalah seorang PNS, sekaligus penulis yang merangkap jadi editor. Keren. Beliau itu salah satu contoh Kartini modern.

Ini adalah ilmu yang beliau bagikan di kelas Kobimo. Kelas menulis novel online. Gratis.

Kelas Sharing EYD dan Editing Jumat, 17 Januari 2014: Mengedit ala Editor (1)

Oleh Zahra A. Harris pada 18 Januari 2014 pukul 0:07
|

Mengedit ala Editor (1)



Assalaamu’alaikum .... *masih ada yang melek nggak ya? -_-  Bodo ah*

Salah satu hal yang paling membahagiakan bagi seorang penulis sebelum mengirim naskahnya ke penerbit adalah saat mengedit naskah itu. Namun, adakalanya sedikit dari kita mendahuluinya dengan perasaan bad mood karena merasa nggak menguasai EYD. Hai, benarkah EYD menjadi semacam ‘masalah’ yang selalu setia menemani? Bagaimana mengatasinya agar mengedit naskah menjadi rutinitas yang menyenangkan?

Boleh diingat—sebenarnya cukup sering juga saya mengingatkan—bahwa hanya dengan memerhatikan EYD agar tampak sempurna untuk naskah lomba, tidak serta-merta menjadikannya sebagai juara. Sebaliknya, seluar biasa apapun naskah, jika penulisnya benar-benar tak mengindahkan pedoman EYD, tak pernah sempurnalah naskah itu disebut juara.

Beberapa dari kita mungkin menganggap bahwa EYD itu nggak penting. Ngapain harus ngikutin pedoman EYD, toh di buku-buku terbitan penerbit mayor ternama pun nulisnya gitu kok! Kenapa harus pakai kata-kata baku sih, kan ada istilah bahasa selingkungan?

Kalau selalu berkiblat pada penerbit ternama yang tidak selamanya seratus persen benar, kalau apa-apa selalu mengatasnamakan bahasa selingkungan (bahasa yang disepakati/dianggap setara baku untuk dipakai di lingkungan sendiri), lalu apa gunanya KBBI dan Pedoman EYD disusun oleh lembaga negara? Sayang dong. Hihihi. Buat apa repot-repot belajar EYD, toh ada editor yang menjadikannya makin cantik? Serius? Tunggu sampai naskahmu bertemu editor yang luar biasa teliti! Dia bukan sekadar merapikan format, menambahi huruf, atau mengurangi spacebar dalam naskahmu. Beliau akan memberi coretan besar pada pemilihan kata yang kacau atau langsung mengubah kalimat-kalimat yang tidak efektif. Nah, seandainya hal itu bisa kaulakukan sendiri, bukankah itu jauh lebih baik? Karena itu, jadilah editor untuk naskahmu sendiri. Mengeditlah, ala editor!


1.  Huruf kapital

Gunakan pada huruf awal kalimat, huruf awal nama orang, huruf awal nama kota, huruf awal nama jalan, huruf awal nama stasiun, huruf awal pada kalimat setelah dialog yang bukan merupakan penanda dialog, huruf awal hubungan kekerabatan yang mengacu kepada nama/jabatan, huruf awal hubungan kekerabatan ketika membuat kata sapaan (menyapa).

Ini kakak saya. = ‘kakak’ tidak kapital, karena tidak mengacu pada/tidak menunjukkan namanya.
Ini kakak saya, namanya Kak Seto. = ‘kak’ pada Kak Seto ditulis dengan huruf awal kapital, karena mengacu kepada nama.
“Selamat pagi, Bu Guru,” = ‘Bu Guru’ mengacu kepada nama/jabatan, juga sebagai kata sapaan, sehingga ditulis kapital
Jangan berisik, ayahku lagi tidur! = ‘ayahku’ tidak kapital, karena hanya menunjukkan hubungan kekerabatan (ayah) tapi tidak ditunjukkan nama si ayah siapa.


2. “di-” sebagai awalan, “di” sebagai kata depan

Apabila bertemu dengan kata kerja, ‘di’  ditulis dirangkai. Inilah yang disebut ‘di’ sebagai awalan. Contoh : dilakukan, dibenahi, diulang, digarap, diistimewakan, dirapikan, diwaspadai, diteliti, diperbaiki, , dan lain-lain.

Apabila menunjukkan TEMPAT, ‘di’  tidak dirangkai dengan kata yang mengikutinya. Inilah yang disebut ‘di’ sebagai kata depan. Contoh : di rumah, di sekolah, di hatimu, di sini, di sana, di situ, di lubuk hati, di relung kalbu, dan lain-lain.


3. Perhatikan Spacebar!

BENAR:

Namaku Dean. Umurku 29 tahun! Apa kau mengenalku? Di mana?
“Namaku Dean. Umurku 29 tahun! Apa kau mengenalku? Di mana?” tanyaku.
“Namaku ... Dean. Umurku, 29 tahun. Apa kau mengenalku? Di mana?” Aku bertanya.
“Namaku Dean. Umurku 29 tahun. Apa kau mengenalku? Di mana?” Dia bicara sambil menoleh.
“Namaku--kali ini aku jujur--sebenarnya adalah Dean. Umurku--aduh, berapa ya?--kukira 29 tahun! Apa kau sungguh-sungguh sudah mengingatku?”

SALAH:

Namaku Dean.Umurku 29 tahun !Apa kau mengenalku ?Di mana ?
“ Namaku Dean.Umurku 29 tahun !Apa kau mengenalku ?Di mana ”?. Tanyaku.
“  Namaku.......Dean. Umurku, 29 tahun. Semoga masih ingat aku  ”. aku bertanya.
“  Namaku Dean. Umurku 29 tahun. Apa kau mengenalku? Di mana?” dia bicara sambil menoleh.
“Namaku -- kali ini aku jujur -- sebenarnya adalah Dean. Umurku -- aduh, berapa ya?--kukira 29 tahun. Apa kau sungguh - sungguh sudah mengingatku? ”


4.  Seragamkan Kalimatmu! Efektifkan!

Ada yang salah dengan kalimat ini?

Nenek datang padaku hari ini karena merindukan cucunya. Beliau tak lupa padaku, dibuktikannya dengan membawakan oleh-oleh untukku berupa boneka yang bisa bersuara.

Sepintas kalimat di atas baik-baik saja. Namun, editor mungkin akan mencoretnya dengan manis dan mengubahnya seperti ini:

Nenek mendatangiku karena merindukan sang cucu. Beliau tak melupakanku dan membuktikannya dengan membawakan oleh-oleh berupa boneka yang bisa mengeluarkan suara.

Perhatikan, bahwa dalam satu kalimat sebaiknya memiliki keseragaman awalan dan tidak melakukan pengulangan subjek/objek

- ‘Datang hari ini’ tidak selaras dengan ‘merindukan’, karena itu gantilah dengan ‘mendatangiku’
- ‘Tak lupa padaku’ tidak selaras dengan awalan-awalan ‘me-‘ pada kalimat sebelumnya (atas), ganti dengan ‘tak melupakanku’
‘dibuktikannya dengan’ tidak selaras dengan awalan-awalan ‘me-‘ pada kalimat sebelumnya (atas), ganti dengan ‘dan membuktikannya dengan’
‘oleh-oleh untukku’ menunjukkan pengulangan objek. Pada kalimat sebelumnya, objek ‘aku’ sudah sangat jelas sehingga tak perlu diulang-ulang
‘boneka yang bisa bersuara’ tidak selaras dengan awalan-awalan ‘me-‘ pada kalimat sebelumnya (atas), ganti dengan ‘yang bisa mengeluarkan suara’.

















Rabu, 15 Januari 2014

Tanpa Judul

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.37 0 komentar

Oleh

Keyzia Chan

Cuaca terik sedang memayungi Kota Jakarta waktu itu. Aku pun tak kuasa menahan haus dan lapar yang sedaritadi mengusik perutku. Kemudian, tanpa ba bi bu aku bergegas menuju salah satu rumah makan yang tidak jauh dari halte tempatku berdiri. Aku melangkah pelan. Kepalu celingak-celinguk mencari meja kosong ketika aku sudah berada di rumah makan. Kulihat dengan seksama setiap sudut rumah makan yang sedang ramai pengunjung tersebut. Langkahkku terhenti setelah retinaku menangkap meja kosong yang berada di dekat jendela. Kulangkahkan kakiku ke sana. Aku menaruh tas ransel berwarna hitam itu di atas meja. Aku terduduk, lalu kulambaikan tangan ke arah pelayan yang mengenakan seragam batik itu. Setelah mencatat pesananku, pelayan berambut ikal itu meninggalkan mejaku. Sambil menunggu pesanannku datang, kukeluarkan kipas dari dalam tas ranselku. Tangan kiriku menopang dagu, sementara tangan kananku menggerakkan kipas naik turun. Dari arah pintu, nampak sesosok wanita muda dengan bayi digendongannya melangkah gontai masuk ke rumah makan. Baju lengan panjang berwarna putih yang tak nampak putih, dengan setelan rok hampir menutupi seluruh kakinya, adalah pakaian yang dia kenakan saat itu. Kulitnya gelap, wajahnya berminyak, rambutnya nampak lepek. Sesekali dia menepuk-nepuk pelan, pantat bayi dalam gendongannya itu. Dihampirinya salah satu pelayan yang tengah sibuk menjalankan tugasnya. Wajah ibu muda itu memelas ketika si pelayan tak mengindahkan keberadaannya. Sendal jepit yang dia kenakan, mengeluarkan suara decitan ketika dia kembai melangkah menghampiri pelayan yang lainnya. Bayi itu menangis. Mungkin dia sudah lapar akut. Batinku. Ibu itu mengelap peluh yang menetes di pipinya mengenakan selendang yang dia pakai menggendong bayinya. Tangis bayi itu kian kencang. Raut wajah ibu itu nampak panik. Ditariknya tangan salah satu pelayan yang melintas di depannya. Dikeluarkannya lembaran uang kertas sepuluh ribu sambil berkata, ”Berilah sebungkus nasi dengan lauk seadanya untukku, Nona.” Uang kertas itu berpindah tangan digenggaman pelayan yang nyaris tanpa senyum itu. ”Tunggulah di luar!” perintahnya.

Dari arah pintu yang sama, nampak pasangan muda berjalan beriringan melangkah ke rumah makan. Kedua tangannya saling menggenggam erat. Pakaian yang mereka kenakan tampak mewah. Asesoris yang dikenakan si wanita, nampak berkilauan. Mempertegas bahwa mereka orang kaya. Setelah menempati meja kosong tak jauh dari tempatku berada, keduanya terlihat saling melempar pandang. Si wanita kaya pun sesekali tersipu malu. Entah apa yang mereka obrolkan. Barangkali mereka pengantin baru, atau sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Pikirku. Beberapa detik setelah keduanya duduk, seorang pelayan sekonyong-konyong menghampiri mereka. Seulas senyum tersungging di bibir pelayan sambil menyodorkan daftar menu makan. Air muka si pelayan nampak semringah saat menunggu tamunya memilih menu makan. Kontras sekali dengan keadaan yang baru terjadi di tempat yang sama, dan nyaris tanpa jeda. Huhh! Rupanya, uang masih memegang segalanya. Rasa hormat dan menghargai, hanya milik orang-orang kaya. Apa bedanya coba? Bukankah, ibu tadi juga tidak mengemis makanan. Tetapi, kenapa perlakuannya beda. Gumamku lirih.

Kulahap makanan yang sudah tersaji di depanku. Sesekali mataku mencuri pandang ke arah kedua pasangan muda itu. Si wanita tak berselera makan. Dia hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di atas mejanya. Bibirnya nampak sedikit maju. Keceriaan yang tadi terpancar, kini tak terlihat lagi. Berbagai menu yang dipesan keduannya, masih tersisa ketika mereka beranjak dari tempat duduk. Langkah mereka terhenti ketika sampai di meja kasir. Perlakuan ramah pun kembali mereka dapatkan. Dunia ini tak adil. Rutukku. Mereka yang tak memiliki sejumlah uang untuk sekedar membeli sebungkus nasi, diperlakukan dengan kasar. Namun sebalikknya. Para pelayan di rumah makan ini, memperlakukan dengan baik, orang-orang yang berduit.

Rabu, 08 Januari 2014

Untittle

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.36 0 komentar

Dear my Lalaland ...

Apa kamu tau, tiba-tiba saja perasaanku tak karuan. Entahlah, aku tak tau, apa yang membebani pikiranku. Ketakuatan! Perasaan itu, dari mana datangnya?
Saat menjalin suatu hubungan, rasanya kembali nano nano. Takut salah bersikap. Nggak bisa menjadi yang terbaik. Pokoknya aneh.

Life likes rollercoaster! Kadang naik, turun, menikung tajam. Dan yang jelas tidak bisa berbalik arah. Kesalahan yang dulu pernah kulakukan, semoga nggak akan terulang untuk kesejuta kalinya. Aku susah jatuh cinta. Kali ini, biarkan cinta ini bertahan. Lama di sini. Aku ingin yang utuh karena aku juga memberikan sepenuhnya.

Lalaland ... Kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi, bukan? Jika ingin tau hal apa yang menungguku di depan sana, ya, harus berani menjalani dan siap mengambil resiko apapun.

Kenapa sih, selalu ada yang nggak suka dengan apa yang aku lakukan?

Cinta karbitan? Maksudnya apa coba?

Perasaan, aku nggak pernah mau tau urusan orang lain? Kenapa juga, ada yang mengusik kehidupanku. Memangnya ada, cinta karbitan? Cinta itu, tidak perlu dipelajari. Dan tak seorang pun bisa menafsirkan kapan, dan berapa cepat kamu jatuh cinta? Iya, kan?
Lantas, jika kamu ada di posisiku, apa kamu juga aka bilang, cintamu karbitan?

Tak ada yang tau, akan kah cinta untuk selamanya atau hanya sesaat? Hanya waktu yang akan menjawab.

Pokoknya, jalani, jalani. Happy or sadly, diterima dengan lapang hati keyzia!

Yang harus diingat, seseorang itu melakukan sesuatu pasti ada alasannya. Baik atau buruk bagi orang lain, yang jelas tidak ada hal yang terjadi begitu saja tanpa ada maksud tertentu. Pahamilah.

Dan satu hal lagi, cinta itu hanya aku dan kamu yang tau! Tak perlu dipublikasikan ke penjuru negri. Kecuali, jika ada ikatan resmi. Biasanya, semakin banyak yang tau, semakin banyak pengacau.

()()
(-_-)
(_()()

suka--suka

Diposting oleh Rumah Kopi di 01.25 0 komentar
Kata, kalimat yang baik, disampaikan dengan cara yang baik. Tetapi, efeknya sangat kurang baik.



***

”Eng ... Pita, gue boleh kan, minta maaf sama lo?” Adam tertunduk mengakhiri kalimatnya. Seolah ada keraguan dalam hatinya, sehingga dia enggan untuk kembali berucap.

Dengan wajah yang berseri-seri, saat itu juga Pita melontarkan jawabannya, ”Tentu saja boleh. Tanpa lo minta sekali pun, gue akan selalu maafin elo, Dam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya yang merah itu. ”Bahkan, gue udah nyiapin sekarung maaf buat elo. Jadi, kapan aja lo mau, tinggal ngambil aja sendiri.” Lanjutnya sambil terkekeh.

”Terima kasih, Ta, elo emang baik banget.” Pita tersenyum malu-malu. Pipinya merona bak pantat bayi.

”Elo, enggak pantes buat gue, Ta.” Adam kembali tertunduk di akhir ucapannya. Kedua tangannya meraih tangan Pita dan menyelusupkan jemarinya, di antara jari-jari lentik gadis yang berada di depannya itu. ”Sebaiknya, kita ... Putus aja. Lo, cari cowok yang baik.”

Srrttt! Tubuh Pita kaku. Kini, gadis berparas ayu tersebut bak patung liberty yang bernyawa. Pikirannya bertanya-tanya. Sejak kapan, satu tambah satu sama dengan sebelas. Batinnya. Napasnya memburu. Gue diputusin gegara terlalu baik. Oh, Tuhan. Betapa sialnya diriku? Gerutunya.

Keduanya terdiam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu bercat putih itu. Adam menatap Pita iba, sekaligus lega telah mutusin Pita. Rupanya, sesosok gadis berambut ikal, telah menggeser posisi makluk berambut lurus yang masih mematung itu.

Keknya belum pernah dengar, ada cowok yang berkata, ”Kamu itu, gadis yang jahat. Maka, aku memilihmu dan akan kujadikan pendamping hidup.” Hah! Ini sungguh nggak masuk di akal. Tau gini, ngapain juga gue susah payah belajar jadi orang baik. Jerit hati Pita. Gue diputusin lantaran terlalu baik!

”Lo, nggak marah kan, Ta?” suara cowok bermata sipit itu memecahkan keheningan diantara mereka.

Berani sekali dia bertanya kek gitu! Emangnya, hati gue terbuat dari kaleng kerupuk apa? Pita pun bergumam, lirih. Air matanya meleleh.

Jeda setengah jam kemudian, Adam pamit pulang. Sebelum pergi, dia kembali bertanya untuk memastikan sesuatu. ”Elo, nggak apa-apa kan, Ta? Nggak marah kan? Elo, baik banget. Pasti nggak akan marah.” Ujar Adam penuh percaya diri.

Pita menggelengkan kepala. ”Tunggu.” Ucapnya ketika cowok berkulit putih itu beranjak dari tempat duduknya semula. Gadis itu berlari ke dapur. Dia mengambil sesuatu dari dalam kulkas.

”Tenang aja, Dam, gue nggak akan marah.” Senyumnya terlihat sinis dan tidak tulus. ”Nih, ada sesuatu buat kamu.” Disodorkannya serantang es buah, kesukaan Adam.

”Makasih ya, Ta. Elo itu benar-benar ...”

”Iya, gue benar-benar baik. Lo, nggak usah mengulang kata itu deh, Dam. Mending lo habiskan cepat, es buah itu begitu nyampe rumah. Okay!”

Tangan kiri Pita nampak menggenggam sesuatu. Dua bungkus bekas arsenik yang telah diaduk jadi satu dengan es buah itu.

#absurd
 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting