ini proyek pertamaku yang GATOT KACA ( gagal total kacau luar biasa )
sengaja aku abadikan sebagai bahan pembelajaran ke depan agar lebih baik lagi
Pink
yang Menghitam
by keyzia
“Bunda kurang setuju kalau
kalian menikah saat ini, kalian masih terlalu muda. Lagian kalian baru saling
mengenal selama enam bulan bukan?? Dia belum mempunyai pekerjaan yang mapan
Pink sayang...
“Bunda tidak rela anak bunda satu-satunya
menderita hidupnya kelak.”
Tangisan bunda Pinkan
terdengar pilu di sela-sela derasnya hujan yang turun dengan lebat malam itu.
***
Ya, dialah Pinkan gadis
cantik, energik, supel yang masih tergolong belia. Dia baru saja menyelesaikan
pendidikan SMA. Malam itu Pinkan dan kekasihnya bermaksud meminta restu Ayah
serta Bunda. Danu adalah kekasih Pinkan yang di pacarinya sejak 6 bulan lalu.
Mereka berkenalan secara tidak sengaja di salah satu toko elektronik, yang
menyediakan telepon selluler, beserta perlengkapannya.
Danu Bastian, sesuai dengan
namanya dia adalah sosok pemuda gagah nan rupawan. Dia terlahir dengan kulit
putih bersih, badannya tinggi, rambutnya lurus. Tak sedikit teman-temanya
menjuluki dia Ariel-Noah.
Danu memang sangat mirip dengan
pelantun tembang ‘’Ada apa denganmu’’. Sosok pembawaannya yang flamboyan
membuat banyak gadis-gadis jatuh hati padanya. Mungkin dialah salah satu magnet
yang menarik pengunjung yang datang ke konter handphone milik kakak
perempuannya sehingga toko handphone tersebut selalu ramai, karena di sanalah
Danu saat ini bekerja.
Sore itu karena ajakan
temannya, Pinkan datang ke konter tempat Danu bekerja. Cinta itu ajaib, entah
kapan sang cupid membidikkan panahnya yang jelas pada pertemuan ketiga, di
situlah mulai ada getaran cinta di antara keduanya.
Suatu siang semenjak Danu mencoba melamar
Pinkan satu bulan yang lalu, Danu kembali bertamu ke rumah Pinkan. Kali ini dia
berinisiatif mengajak kawin lari kekasihnya, karena kedua orang tua Pinkan
belum merestui jika anak gadisnya menikah di usia dini.
“Bagaimana jika kita kawin lari saja.”
Suara lembut terlontar dari bibir Danu.
Sontak hal itu mengejutkan Pinkan yang
sedang asik memainkan jari-jarinya di atas tust piano. Dia berhenti memainkan
permainan pianonya. Lalu berjalan mendekat ke arah Danu yang duduk di atas sofa
yang berada di samping meja piano.
“Kamu ngomong apa sih sayang?” ucap Pinkan
sambil tersenyum dengan manjanya yang khas dengan lesung pipit yang menambah
ayu gadis belia itu.
“Kita kan masih terlalu muda, lagian
karirku sebagai pianis baru saja di mulai. Aku masih harus terus konsentrasi
dan banyak berlatih agar lebih mahir, supaya nanti Ayah serta Bunda, juga kamu,
bangga pdaku.”
“Ah, nggak perlu jadi terkenal aku pun
sudah bangga sama kamu sayang,’’ sahut Danu sembari memeluk hangat kekasihnya.
“Aku takut orang lain merebutmu dariku. Aku nggak ingin kehilanganmu sayang...”
‘’Ciyuuussss... hihi.’’ Pinkan menggoda
kekasihnya yang tampak serius mengajaknya menikah di usia muda.
“Sayang, aku serius sekali. Apa kamu nggak
ingin menikah denganku? Iya aku memang belum mampu menjanjikanmu apa-apa karena
aku belum mempunyai usaha sendiri yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi aku
punya cinta, kasih sayang dan perhatian yang sepenuhnya hanya untukmu.”
“Aku tau sayang, tapi aku belum siap
menjadi seorang istri. Aku masih harus banyak belajar agar kelak menjadi istri
yang baik dan mamah yang hebat buat selusin anak-anak kita nanti,” canda Pinkan
di sela-sela percakapan mereka.
Hari itu di rumah sepi. Ayah serta Bunda
Pinkan pergi keluar Kota, menghandiri hajatan pernikahan saudara Ayahnya.
Jiwa-jiwa muda mulai bergejolak ketika
bibir Danu menyentuh bibir Pinkan dengan penuh kehangatan. Dua bulan berlalu
sejak kejadian itu, Pinkan terlambat mendapatkan tamu bulanannya.
Dia pun panik ketika mendapati hasil
tetspack-nya yang menunjukkan dua garis merah yang berarti di positif hamil.
Serasa di sambar petir di pagi yang cerah. Kabar itupun segera di sampaikan
pada Danu kekasih yang menjadi Ayah biologis dari calon bayi yang ada di
rahimnya.
“Apa kamu hamil? Tapi sayang, kamu kan
bilang kalau belum siap menikah di usia muda, lagian aku belum siap jadi
seorang ayah. Kamu tahu sendiri kan, aku belum mapan secara ekonomi, aku nggak
akan bisa menjadi suami yang baik seperti yang di sampaikan orang tuamu tempo
hari. Aku pun nggak sudi lagi, jika harus memohon dan bersiap di usir sama Ayah
Bundamu.” Sejuta alasan, Danu pergunakan untuk mengelak mempertanggung jawabkan
perbuatannya.
Selama dua bulan terakhir ini dia
diam-diam menjalin hubungan dengan Amy, gadis manis yang selama ini rajin
mendekati Danu, dan berusaha mengambil hatinya. Tempat kerja Amy berada di
seberang konter handphone tempat Danu bekerja.
Danu yang seorang flamboyan, akhirnya pun
luluh juga pada wanita lain yang agresif mengejar-ngejar cintanya.
***
Pingkan berhambur memeluk Danu, ketika
kali kedua dia bertemu Danu semenjak dia hamil. Tangisannya memecah mengawali
obrolan dengan kekasihnya sore itu.
“Aku takut Ayah Bunda shock kalau mereka tau aku sedang mengandung.” Tangisan Pinkan
semakin menjadi-jadi, membuat Danu tak bisa berfikir secara jernih.
Dia pun akhirnya mengusulkan pada Pinkan
untuk mengaborsi janin yang berada dalam kandungannya. Tentu saja Pinkan
menolaknya. Dia bersikeras mempertahankan bayinya karena tak mau melakukan
kesalahan untuk kedua kalinya.
“Apa salah bayi ini. Kenapa kamu tega
membunuh calon bayimu sendiri sayang? Teganya kamu menyakiti dia yang tak
berdosa.”
“Aku tegaskan padamu! aku nggak siap jadi
ayah. Jadi kalau kamu nggak mau aborsi, terserah, aku nggak mau tau lagi
tentang keadaanmu dan bayimu.” Danu berlalu pergi meninggalkan Pink seorang
diri.
***
Malam itu hujan kembali turun dengan
derasnya. Pink tampak gelisah mondar-mandir. Hatinya pun tak karuan. Dia
menunggu malam merayap larut agar kepergiannya dari rumah tidak di ketahui
orang tuanya. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah, karena sangat tidak
mungkin dirinya sanggup melihat ekspresi Ayah-Bunda ketika tau bahwa dia sedang
mengandung bayi Danu. Seorang yang di tentang keras menikahi putrinya waktu
itu.
Pink meninggalkan sepucuk surat di atas meja
riasnya. Berharap esok pagi Bunda melihat dan membacanya. Malam pun kian larut
ketika Pink bergegas meninggalkan rumahnya. Hujan pun semakin deras seakan ikut
menangisi kepergiannya yang tanpa arah dan tujuan. Lolong anjing malam menambah
suasana semakin miris dan mencekam, ketika langkah kecil itu terus berlalu
menerobos malam dan derasnya hujan.
Entah berapa lama dia berjalan, berapa
jauh kakinya melangkah membawa hati yang luka. Gelap malam pun sepertinya mulai
berangsur berganti pagi. Tubuh mungilnya tak sanggup berdiri tegak, langkah
yang sedari tadi membawanya pergi mengasingkan diri, kini semakin lunglai.
Pink akhirnya tak sadarkan diri, suhu
badannya terus tinggi, bibirnya biru menggigil kedinginan. Wajah ayunya semakin
memucat. Beruntung sekali ketika pingsan ada seorang ibu paruh baya
menolongnya. Ibu itu berteriak minta tolong pada beberapa orang di sekitarnya
untuk mengangkat tubuh mungil itu naik ke atas becak. Ibu itu berniat membawa
Pink ke puskesmas yang tak jauh dari pasar legi, di mana ibu paruh baya
tersebut mengais rejeki sebagai buruh kuli gendong.
Ibu itu membantu mengangkat dagangan para
pedagang yang berjualan di pasar legi, dengan upah 2.500 untuk sekarung barang,
yang harus di bawanya dari tempat parkiran menuju tempat para pedagang
menggelar dagangannya.
Ibu Ranung, beliau di kenal sebagai
seorang wanita yang sangat ramah dan sabar suaminya meninggal dunia beberapa
tahun silam, beliau tak di anugerahi seorang anak. Namun Ibu Ranung tak pernah
terlihat sedih wajahnya yaang tampak kalem mencerminkan hatinya yang bersahaja.
“Syukurlah kamu sudah siuman, Nduk,’’ sloroh
Ibu Ranung ketika melihat Pink membuka matanya.
Pinkan hanya menganggukkan kepala serta
melemparkan seutas senyum yang masih terlihat menawan khas seorang Pinkan yang
cantik dan rupawan.
“Maaf ibu ini siapa, dan saya berada di
mana?” tanya Pink yang tampak bingung karena merasa asing.
“Kamu berada di puskesmas, Nduk. Semalam
ibu menemukanmu pingsan di depan pasar. Ibu hendak menghubungi orang tuamu
supaya mereka tau putrinya sedang berada di puskesmas ini, tapi ibu tak
menemukan satu identitas pun di dalam tas yang kamu bawa itu. Maaf sebelumnya
kalau ibu lancang berani membuka barang bawaanmu.”
Nggak apa-apa kok, Bu. Saya justru
berterimakasih banyak ibu sudah menolong saya. Saya justru minta maaf sudah
merepotkan ibu.” Air mata pun jatuh berlinang dari wajah cantik Pink, dan
berusaha memeluk ibu yang baik hati tersebut.
Setelah keadaan mulai berangsung membaik, Pink
menceritakan keadaan dirinya. Ibu Ranung yang baik hati sekali lagi bermaksud
menolong Pink dengan mengajaknya tinggal bersama di rumahnya, dan pink pun
menyetujuinya karena dia sendiri pun tak tau mau pergi ke mana.
Hari terus berlalu, kandungan Pink semakin
membesar. Selama tinggal di rumah Ibu Ranung dia tak mau menjadi beban ibu
angkatnya, dan dia pun memutuskan untuk mencari kerja seadanya.
Pink yang jari-jari lentiknya biasa menari
di atas tuts piano kini ia harus merelakan jari tangannya kering dan kadang
berdarah karena iritasi sabun cuci. Ya, dia memutuskan untuk menjadi buruh cuci
baju para tetangga yang tinggal di sekitar rumah Ibu Ranung.
Sebenarnya Ibu Ranung tak mengijinkannya
bekerja takut mengganngu kandungannya. Tapi Pink berhasil meyakinkan ibu
angkatnya bahwa dia akan baik-baik saja.
Jadwal kelahiran pun sudah semakin dekat.
Malam itu hujan turun dengan deras. Pink berusaha membangunkan ibu angkatnya
yang tidur di sampingnya. Perutnya tiba-tiba mulai sakit luar biasa. Dia
mengalami kontraksi. Darah segar pun mulai keluar, membuat Ibu Ranung tampak
panik kebingungan. Dia bergegas lari keluar mencari bantuan. Beruntung masih
ada tukang becak yang mangkal mencari penumpangn malam itu.
Untuk kesekian kalinya peristiwa besar
yang di alami Pink selalu di barengi dengan hujan deras. Kilatan petir yang
bersahutan tidak menggoyahkan semangat Pak Sardi mengayuh becaknya mengantarkan
Pink dan ibunya ke rumah bersalin terdekat.
Darah segar semakin deras mengalir keluar
ketika becak Pak Sardi sampai di tempat tujuan. Kontraksi perut Pinkan semakin
hebat, sehingga membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Suasana semakin tegang
ketika bidan yang membantu persalinan Pink angkat tangan tidak sanggup
melakukan tindakan membantu persalinan. Yang jelas operasi harus segera di
lakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Sedangkan peralatan di rumah
bersalin tidak cukup memadai jika harus di lakukan operasi cesar di sana.
Ibu Ranung tampak bingung dan sedih. Air
matanya tak berhenti mengalir mebasahi pipi tuanya yang kusam. Di sela
tangisnya beliau tak berhenti berdoa memohon keselamatan Pink dan bayinya.
“Ibu,” sapa bidan itu membuyarkan
lamunannya. “anak ibu harus segera di kirim kerumah sakit, sebab di sini
fasilitas kami sangat terbatas. Ibu harus secepatnya mengambil keputusan agar
kami bisa segera melakukan tindakan lebih lanjut, menyiapkan ambulance dan
menghubungi pihak rumah sakit.”
“Iya Bu bidan, saya mengerti tapi dari
mana saya bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi anak saya. Saya hanya
seorang buruh gendong di pasar.”
“Saya mengerti posisi ibu.” Bidan tersebut
tampak iba melihat raut wajah sedih yang terpancar dari wajah ibu tua itu
“Nanti akan saya coba bantu mengajukan
surat permohonan keringanan biaya pada pihak rumah sakit. Yang jelas sekarang
juga ibu harus menandatangani surat kuasa atas nama keluarga bahwa mengijinkan
di lakukan operasi.”
Tanpa berfikir panjang dalam keadaan
terjepit, Ibu Ranung bergegas pergi ke rumah juragan Basri, dia adalah seorang
rentenir. Bu Ranung bermaksud menggadaikan sertifikat rumahnya untuk
mendapatkan biaya persalinan anak angkatnya.
Juragan Basri memberi tempo pengembalian
selama tiga bulan dengan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Bu Ranung pun
menyetujuinya, karena tak ada pilihan lain untuknya.
Operasi pun berhasil menyelamatkan Pink
dan bayinya. Tiga bulan setelah peristiwa itu berlalu, batas waktu yang di
berikan pada bu Harnung untuk melunasi hutangnya pada juragan Basri pun tiba.
Sore itu terdengar suara gaduh di luar rumah. Ternyata rentenir tersebut datang
bersama beberapa anak buahnya untuk menagih hutang. Ini yang di khawatirkan Bu Ranung.
Karena belum mampu melunasinya beliau meminta perpanjangan waktu barang
seminggu.
Sungguh waktu yang terlalu singkat untuk
mencari duit sebesar sepuluh juta rupiah. Juragan Basri pun menyetujui, kali
ini dia mengancam akan mengusir mereka sekeluarga keluar dari rumah jika tidak
bisa melunasi hutangnya seminggu lagi.
Keesokan harinya pagi-pagi Pinkan pamit
pada ibu angkatnya untuk mencari pekerjaan. Hasil dari buruh mencuci baju
tetangga yang selama ini dia geluti hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Pink menitipkan Mutiara, bayi kecilnya pada ibu angkatnya
tersebut. Sementara seharian Pink keluar masuk perusahaan dan tak satupun
perusahaan yang bersedia menerima karyawati yang hanya mengantongi ijazah SLTA.
Hari-hari berikutnya pun masih sama. Pink
masih belum juga mendapatkan pekerjaan. Andai dia diterima kerja pun mana
mungkin dia bisa secepat itu mendapatkan duit yang cukup besar jumlahnya. Dia
mulai gundah, bagaimana kalau sampai dia ibu dan bayinya di usir dari rumah. Ke
mana mereka akan pergi?
Hari eksekusi tiba juga. Pada waktu yang
bersamaan kebetulan bayi kecil itu rewel terus, badannya panas tangisnya pun
tak berhenti sejak pagi tadi.
Ibu Ranung semakin panik ketika juragan
Basri dan anak buahnya kembali datang menagih hutang. Sementara di luar sana
sampai detik ini pun Pink belum mendapatkan pekerjaan.
Kakinya membawa ia melangkah menuju sebuah
cafe, mencoba menawarkan diri mengisi lowongan kerja sebagai pianis walaupun
dia sendiri tidak yakin apakah kemampuan jari-jarinya masih sehebat seperti
beberapa tahun yang lalu. Tapi dia mencoba memberanikan diri untuk melamar
kerja di sana.
Nihil. Ada seorang tante yang dari tadi
mengamatinya dari kejauhan, sepertinya dia tau kalau Pink sangat butuh
pekerjaan. Matanya pun jeli mengawasi dan melihat walaupun dari kejauhan Pink
memang tampak menawan, bajunya yang sederhana tak mampu melunturkan
kecantikannya.
Tante itu menghampiri Pink, dia menawarkan
kerja padanya. Pekerjaan yang mudah dengan hasil yang menggiurkan. Tante Heny
seorang mucikari kelas atas. Pelanggannya adalah bos-bos besar dan
pejabat-pejabat. Anak buahnya, rata-rata sudah kaya raya. Mobil mewah milik
pribadi, siap mengantarkan ke sana-ke mari melayani tamu-tamu yang sudah
menunggu di hotel berbintang.
***
Ketika sampai rumah pink melihat barang
barang berserakan di luar rumah, ibu dan anaknya duduk di dekat tumpukan barang
barang tersebut. Pink segera lari memeluk ibunya yang sedang menangis
kebingungan karena bayi dalam gendongnnya sedang demam.
Akhirnya mereka pergi ke rumah sakit untuk
memeriksakan keadaan Mutiara. Barang-barang pun di tinggalkan begitu saja. Karena
mereka juga tak tau ke mana akan pergi dan tinggal walaupun hanya untuk
sementara.
Dokter tampak serius memeriksa bayi kecil
tersebut,dan memanggil Pink untuk berbicara lebih lanjut. Dengan terpaksa
dokter menyampaikan berita duka. Bayi kecil yang malang mengalami hepatitis A, saat
ini karena usia bayi masih terlalu kecil, kondisi tubuhnya belum kuat jika
harus menjalani tranplatasi hati.
Ketika dia menginjak usia sepuluh tahun
nanti bayi ini membutuhkan seorang pendonor yang bersedia mentranplatasikan
hatinya agar dia bisa hidup pebih lama, dan yang menyedihkan lagi kedua matanya
terancam buta.
Seperti tersambar petir mendengarnya. Pink
tak sadarkan diri ujian demi ujian datang silih berganti. Bayi kecilnya pun
juga ikut mengalami ujian seberat ini. Pink tak tau lagi harus kemana mencari
biaya pengobatan anaknya, dan rumah kontrakan untuk mereka tinggal.
Akhirnya dia mencoba menghubungi tante
Heny yang meninggalkn kartu nama padanya tempo hari. Di sinilah karir pink
sebagai wanita penghibur kelas atas di mulai.
Pink yang menghitam. Cobaan demi cobaan
menyeretnya ke dunia hitam. Usianya yang masih tergolong sangat muda
menjadikannya primadona di antara rekan kerjanya.
Minggu bulan tahun pun berganti. Akhirnya
rumah yang layak huni pun dia miliki. Tabungan untuk pendidikan anaknya pun
sudah di persiapkan jauh-jauh hari. Setiap malam di sepertiga akhir, sering
terdengar tangisan perempuan. Ya, pink menangis bersujud memohon ampun pada
Tuhan telah menjalani pekerjaan yang di laknat-Nya.Tapi tak ada pilihan lain
untuknya. Dia terpaksa melakukan pekerjaan ini.
Usia Mutiara, kini menginjak tahun
kesembilan. Sebentar lagi tubuhnya sudah kuat jika harus di adakan operasi
tranplatasi hati dan cangkok kornea mata.Tapi selama ini belum ada seorangpun
yang bersedia mendonorkan kedua organ vital itu secara cuma-cuma. Pink semakin
tersiksa ketika melihat buah hatinya harus berada di sekolah luar biasa bersama
anak-anak penyandang cacat lainnya.
Diam-diam, dia berdiskusi dengan dokter
yang selama ini menangani anaknya. Dia bermaksud mendonorkan hati dan kedua
kornea matanya untuk Mutiara Hati malaikat kecil dan harta paling berharga di
dunia ini.
Dokter menyuruhnya pulang dan memikirkan
Kembali hal ini, karena nyawanyapun terancam jika setelah operasi di masih
mampu bertahan hidup. Itupun sebuah keajaiban dari Tuhan.
Tekad Pinkan sudah bulat, andai dia
menghadap Tuhan nanti anak dan ibu angkatnya tak perlu bersusah payah mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil kerjanya hampir sepuluh
tahun ini mendapatkan jumlah uang yang luar biasanya banyaknya. Walaupun uang
itu hasil dari pekerjaan yang haram. Sungguh dia berserah dan pasrah semua dia
kembalikan pada Tuhan, bahwa semua ini sudah menjadi suratan.
Operasi transplatasi hati, dan pencakokan
kornea mati sukses di lakukan. Namun nyawa Pinkan tak terselamatkan.
Sementara itu di hari yang sama Danu
Bastian laki-laki bajingan itu menerima hukuman eksekusi mati, karena di
nyatakan bersalah telah menghabisi nyawa pasangan kumpul kebonya yang tidak
lain adalah Amy Safitry. Mayatnya di multilasi menjadi sepuluh bagian,walaupun
di buang di tempat yang terpisah akhirnya polisi dapat menemukan.
Malam sebelum menjalani operasi Pinkan
menulis sebuah surat, dia berpesan pada putrinya untuk mencari kakek dan nenek
kandungnya di alamat yang dia tulis lengkap beserta foto Ayah Bundanya yang
sudah usang. Pinkan beramanah untuk memohonkan maaf untuknya pada kedua orang
tuanya melalui putri kecilnya Mutiara Hati.